
JAKARTA, SP – Pencemaran Laut Timor tahun 2009 lalu dari blok Montara di perairan Australia bisa dikatakan masih menyimpan sejumlah kontroversi. Mulai dari kompensasi masyarakat korban pencemaran, dampak ekologi (pesisir dan Laut Timor), pemulihan ekosistem hingga tanggung jawab perusahaan PTT Exploration and Production (PTTEP).
Informasi yang diperoleh SP terkait kompensasi atau ganti rugi yang difasilitasi Maurice Blackburn sesuai putusan pengadilan Australia justru meninggalkan berbagai persoalan baru. Belakangan, moratorium investasi terhadap PTTEP sejak tahun 2017 di Indonesia pun mulai digagas untuk dicabut.
Ferdi Tanoni selaku Ketua Yasasan Peduli Timor Barat (YPTB) mengatakan tindakan mencabut moratorium perlu diwaspadai dan bila perlu ditolak. Jangan sampai mengorbankan persoalan kemanusiaan, lingkungan dan menghancurkan kedaulatan NKRI. “Kemudian lebih mengutamakan hanya soal investasi. Tuntaskan dahulu berbagai hal yang memang menjadi tanggung jawabnya, bukan mengabaikan berbagai masalah yang dibiarkan sejak 15 tahun lalu,” tegas Ferdi.
Baca : Program 100 Hari Prabowo, Prioritaskan Solusi Tragedi Montara
Ferdi mengatakan pihaknya mendengar kabar bahwa PTTEP saat ini menunjuk Komite Netral (Neutral Committee) dari pihak asing yang diduga bersama pejabat pemerintah/lembaga di Indonesia yang sedang mengumpulkan data-data. Adapun tujuan dari Komite Netral untuk mencabut moratorium investasi migas PTTEP oleh Pemerintah Indonesia. Kemudian, menyiapkan rencana PTTEP berinvestasi lagi.
“Pemerintah Indonesia telah mengarahkan PTTEP berinvestasi di Blok Andaman. Ini informasi yang kami terima dari sumber yang terpercaya,” kata Ferdi.
Sebelumnya, sejumlah masyarakat yang menjadi korban pencemaran 15 tahun lalu itu menduga tidak ada niat baik PTTEP menyelesaikan berbagai persoalan. Mulai dari keseriusan PTTEP, dan para pihak yang diberikan kewenangan menyalurkan dana kompensasi seperti Maurice Blackburn dan perbankan.
Baca : Kasus Montara Masih Bermasalah, Moratorium PTTEP-Thailand Jangan Dicabut
Hingga kini, PTTEP selaku perusahaan pencemar hanya memberikan ganti rugi senilai AU$ 192.500.000 atau kurang lebih Rp 2,1 triliun bagi 15.483 petani rumput laut yang tersebar di 81 desa/kelurahan di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao. Ganti rugi itu baru diperoleh setelah Pengadilan Federal Australia di Sydney memenangkan gugatan 15.483 petani rumput laut Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 19 Maret 2021 lalu.
Untuk itu, pemerintahan Prabowo Soebianto dan para pihak yang terkait seperti Pertamina serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) untuk menghentikan berbagai cara mencabut Surat Moratorium Pemerintah RI yang diterbitkan pada Februari 2017 lalu. [PR/SP-03]
Leave a Reply