
KUPANG, SP – Tragedi pencemaran Laut Timor tahun 2009 lalu dari blok Montara di perairan Australia sejauh ini belum ada solusi komprehensif. Kompensasi atau ganti rugi sesuai putusan pengadilan Australia justru menimbulkan kericuhan baru. Untuk itu, moratorium investasi terhadap PTT Exploration and Production (PTTEP) sejak tahun 2017 di Indonesia harus tetap diberlakukan.
Sejumlah masyarakat yang menjadi korban atas pencemaran hampir 15 tahun lalu itu malah mempertanyakan banyak hal. Mulai dari keseriusan pihak PTTEP, para pihak yang diberikan kewenangan menyalurkan dana kompensasi seperti Maurice Blackburn dan perbankan.
Baca : Ganti Rugi Montara Mengecewakan, Ada Korban Pingsan dan Meninggal Dunia
“Saat ini saja penyaluran dana kompensasi belum tuntas dan ada yang tidak sesuai sasaran korban pencemaran. Apalagi sedang ditangani pihak kepolisian daerah (Polda) NTT berarti ada persoalan serius yang harus diselesaikan,” demikian keluhan warga di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT), akhir pekan lalu.
Hingga kini, PTTEP selaku perusahaan pencemar hanya memberikan ganti rugi senilai AU$ 192.500.000 atau kurang lebih Rp 2,1 triliun bagi 15.483 petani rumput laut yang tersebar di 81 desa/kelurahan di Kabupaten Kupang dan Rote Ndao. Ganti rugi itu pun baru diperoleh setelah Pengadilan Federal Australia di Sydney memenangkan gugatan 15.483 petani rumput laut Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 19 Maret 2021 lalu.
“Sejak awal, PTTEP sebagai perusahaan yang melakukan pencemaran di Laut Timor yang maha dahsyat justru tak punya niat baik menyelesaikan kasus Montara ini,” tegas Ferdi Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB).
Karena itu, Ferdi yang juga selaku representasi dan otoritas pemerintah dalam kasus tumpahan minyak Montara ini mendesak PTTEP selaku BUMN Thailand dan Pertamina serta SKK Migas untuk menghentikan berbagai cara untuk mencabut Surat Moratorium Pemerintah RI yang diterbitkan pada Februari 2017 lalu. “Tak ada alasan mencabut moratorium ini karena PTTEP tidak pernah menunjukkan niat baiknya menyelesaikan kasus tumpahan minyak Montara,” sambung Ferdi.
Baca : Korban Montara Mengadu ke YPTB, Penyelidikan Polisi Ditunggu
Dia mengutip isi surat moratorium yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI yang ditujukan kepada Pertamina. Dalam surat tahun 2017 lalu, pada butir 4 ayat b menyebutkan: “agar dilakukan moratorium kerja sama pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi PTTEP di Indonesia sebelum terdapat penyelesaian yang nyata dari PTTEP”.
Sejauh ini, PTTEP hanya membagikan dana corporate social responsibility (CSR) kepada sejumlah daerah tertentu di Indonesia. Hal ini bukanlah merupakan niat baik dari PTTEP untuk menyelesaikan kasus Montara.
“Soal PTTEP telah membayar AU$ 192.500.000 tersebut itu bukan niat baik juga dari PTTEP, tetapi Pengadilan Federal Australia telah memenangkan kami rakyat petani rumput laut pada bulan Nopember tahun 2021. Bahkan, kerugian akibat rusaknya kerusakan ekosistem justru belum disentuh sama sekali,” ujarnya.
Seperti diketahui, pada bulan Juni tahun 2022 PTTEP menghubungi Kantor Pengacara Maurice Blackburn di Sydney. Setelah mencapai kesepakatan, PTTEP mencabut pengajuan banding di Pengadilan Australia. Padahal, ini hanya berkaitan dengan keruguian petani rumput laut (belum termasuk nelayan) di dua kabupaten saja. Sementara terdapat 13 kabupaten/kota se-NTT yang mengalami dampak dari pencemaran Laut Timor.
YPTB, lanjut dia, akan terus menuntut secara hukum terhadap PTTEP-Pertamina-SKK Migas atau siapapun yang mencabut moratorium tersebut. “Dasar hukum kami ajukan ke pengadilan karena YPTB telah ajukan tuntutan terhadap Pemerintah Federal Australia dan PTTEP Bangkok sebesar Rp 215 triliun kepada Komisi Hak-Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2019,” katanya.
Dikatakan, pada bulan Maret 2021 lalu, YPTB mendapat dukungan penuh dari Komisi Hak-Hak Asasi Manusia PBB dengan mengirim surat kepada Pemerintah Republik Indonesia-Pemerintah Federal Australia-Pemerintah Thailand dan PTTEP di Bangkok dan meminta menjawab surat PBB tersebut pada bulan Mei 2021.
“Mereka telah memberikan jawaban kepada PBB. Saat ini, pengacara yang kami tunjuk di London-Inggris sedang mempersiapkan berbagai dokumen untuk diajukan ke pengadilan,” tegasnya. [PR/SP-03]
Leave a Reply