
Tulisan Pertama dari Heri SS
[Alumnus Pasca Sarjana IPB dan Sekjen MSI, email kabarpangan.id@gmail.com]
BOGOR, SP – Di tengah hebohnya berita terkait makan bergizi gratis, susu dan aksi demo peternak beberapa bulan lalu hingga rencana impor 1,3 juta ekor sapi perah tahun 2025, peternak di Kampung Bojong Sempu, nyaris hanya pasrah. Pasrah dengan produksi susu yang makin terbatas dan juga berharap ada perubahan yang langsung dirasakan. Sejak akhir tahun 1960-an, para peternak sapi perah di Bojong Sempu, Desa Cilebut Barat, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sudah terbiasa berjuang sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada petani padi dengan pengairan yang cukup bagus hingga singkong dan jambu kristal yang cukup meluas di kawasan Cilebut dan Bojong Gede. Kemandirian mereka rupanya hanya bisa bertahan sekitar tiga dekade.
Seiring berjalannya waktu, memasuki tahun 2000-an, jumlah petani dan peternak pun terus berkurang. Umumnya kendala lahan yang bersaing dengan pemukiman, usaha tani-ternak yang dinilai lambat berkembang dan minimnya generasi penerus. Ratusan hektare lahan premium sepanjang Cilebut-Bojong Gede menjadi sasaran pemukiman kaum urban dari Jakarta dan sekitarnya. Akses kereta rel listrik (KRL) dan jalan tol yang semakin lancar menjadi faktor pendukung.
Selain himpitan lahan, khusus peternak sapi perah mengalami tekanan harga susu sejak reformasi yang kebijakannya baru saja dicabut, sumber pakan yang menipis, dan minim dukungan sarana serta insentif. Sebagaimana kondisi nasional, peternak sapi perah Bojong Sempu tidak jauh berbeda. Sekitar 15 peternak sapi perah di Bojong Sempu mempunyai Kelompok Ternak Makmur yang tergabung dalam Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor.
Baca : Impor Susu dan Peternak Sapi yang Diperah IMF
KPS Bogor juga memiliki beberapa anggota kelompok tersebar di Kabupaten Bogor seperti Cijeruk, Caringin, Ciawi, Depok, Cilebut, dan Ciomas Bogor. Satu lagi kelompok di Kota Bogor yang terletak di Kebon Pedes. Kondisi ternak di Kebon Pedes mirip dengan Bojong Sempu, kandang sapi perah berhimpitan dengan rumah pemiliknya. Para peternak KPS Bogor rata-rata memiliki 3-4 ekor sapi perah dan produksi susu sekitar 10 liter per ekor per hari.
Mohamad Enoch, mantan Ketua KPS Bogor, pernah mengatakan setoran susu ke KPS Bogor dari semua anggota kelompok hanya 14 ton per hari, lebih rendah dibanding tahun 1995 yang mencapai 20-25 ton per hari. “Semakin tahun bukan semakin tambah, tapi semakin turun,” ujarnya pada tahun awal 2020-an.
Penurunan produksi karena jumlah anggota tersisa 15 kelompok, masing-masing kelompok ada 20 peternak jadi terdapat 250-300 peternak. Jumlah anggota tersebut cenderung turun dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 800 peternak.
Kelompok Makmur di Kampung Bojong Sempu pun mengalami hal serupa. Selain jumlah peternak menurun, jumlah kepemilikan sapi pun terus berkurang. Jika sebelumnya setiap peternak punya 7-10 ekor, maka sekarang paling 3-4 ekor. Itu saja harga per ekor sapi perah dewasa berkisar Rp 25 juta – Rp 30 juta.
Tulisan Kedua : Susu Sapi Cilebut-Bogor, Singkong, dan Kesulitan Pakan
Anwar dan Dading, adalah dua peternak sapi perah Bojong Sempu. Setiap hari, Anwar harus dua kali mengarit rumput (hijauan) sebagai pakan untuk 6 ekor sapi. Biaya hidup keluarganya ditopang dari jualan susu setiap hari. Ada yang disetor ke KPS Bogor dan ada juga yang dijual langsung ke beberapa konsumen. “Kalau jualan langsung, harga lebih tinggi. Biasanya ada yang rutin ambil, kemudian dikemas lagi ukuran kecil untuk dijual lagi,” jelas Anwar.

Selama menjalani usaha ternak, peternak Bojong Sempu nyaris tidak pernah disentuh program atau insentif dari manapun. Pada tahun 1997, beberapa peternak di Bojong Sempu ikut program Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah yang diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 7 Januari 1997. KUNAK terletak di Kecamatan Cibungbulang dan Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Namun, program ini tidak berjalan mulus dan sebagian besar lahan yang dibagikan beralih pemilik yang bukan peternak alias dijual.
Peternak sapi perah di Bojong Sempu sebenarnya sangat berharap dampak langsung dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Jika benar Badan Gizi Nasional (BGN) dan lembaga negara lainnya memprioritaskan pasokan bahan pangan lokal, maka seharusnya semua produksi susu peternak yang sudah memenuhi kriteria bisa diserap. Idealnya, produksi susu dari Bojong Sempu bisa diprioritaskan untuk memasok kebutuhan di Desa Cilebut Barat. Harga menjadi lebih bagus, bisa menopang modal kerja dan kebutuhan pakan. Kemudian, kepastian pasokan bahan baku untuk program MBG juga tetap terjaga. Tentu eksekusinya tergantung di setiap desa dan daerah masing-masing karena bisa jadi dinilai lebih merepotkan.
Di sisi lain, rencana impor 1,3 juta ekor sapi perah selama tahun 2025 diharapkan tidak “mematikan” peternak-peternak kecil seperti di Bojong Sempu. Pola ternak di Bojong Sempu tentu tidak secanggih para importir dan perusahaan-perusahaan raksasa yang belakangan gencar mendatangi Indonesia. Namun, membiarkan peternak lokal “bangkrut” pun tidak adil di negara Pancasila ini, kecuali ada jaminan hidup yang lebih baik di bidang usaha yang lain. [SP]
Advertorial
IpeComm melayani jasa editor (buku/media massa), penulisan kreatif, media/public relation, komunikasi (government/community/private), promosi, business intelligent, analisis media, hingga crisis management. Didukung tim ahli & profesional, berpengalaman di sejumlah media nasional/internasional. Email agrifood.id@gmail.com, telp/WA 081356564448.
Leave a Reply