
JAKARTA, SP – Salah satu buah dari krisis 1997-1998 adalah kebijakan bea masuk (BM) nol persen untuk susu impor. BM ini memiliki sejarah panjang dan menjadi dilema antara liberalisasi pasar dan perlindungan peternak lokal. Saat itu, Indonesia menghadapi krisis ekonomi di Asia yang membuat pemerintah harus bekerja sama dengan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF). Selain memberi bantuan finansial, IMF juga mensyaratkan Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi produk impor. Buahnya, aturan yang mewajibkan industri menyerap susu lokal pun dihapus.
“Dulu, pada 1997-98, kewajiban menyerap susu lokal dicabut berdasarkan saran IMF,” ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam acara “Gerakan Peningkatan Produksi Susu Segar Dalam Negeri” di Pasuruan, Jawa Timur, Kamis (14/11/2024).
Ketergantungan pada produk asing alias impor pun meningkat. Seiring waktu, kebijakan bebas bea masuk ini bukan hanya bertahan, tetapi semakin diperkuat oleh berbagai perjanjian dagang. Salah satunya adalah ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), yang membuat susu dari Australia dan Selandia Baru bisa masuk ke Indonesia dengan bea nol persen.
Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, menyatakan perjanjian ini adalah bagian dari komitmen Indonesia dalam perdagangan internasional. “Ini terkait dengan FTA, perjanjian perdagangan dengan ASEAN, Australia, dan New Zealand. Jadi itu yang kita jalankan juga,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (14/11/2024).
Selain bea masuk nol persen, pemerintah bahkan membebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada susu impor berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. Kebijakan ini semakin menekan peternak lokal yang harus bersaing dengan harga susu impor yang jauh lebih murah. “Kalau masalah PPN, itu menjadi wewenang teman-teman di pajak,” jelas Askolani.
Kondisi ini menjadi sorotan ketika para peternak lokal mulai kesulitan bersaing. Peternak sapi perah dalam negeri mengeluhkan kebijakan tersebut telah membuat harga susu impor lebih murah, sedangkan biaya produksi susu lokal meningkat.
Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan ini demi melindungi peternak lokal. “Kami meminta agar ada hambatan (barrier) untuk melindungi peternak susu sapi perah di Indonesia,” katanya seperti dikutip sejumlah media.
Kini, desakan dari peternak lokal terus berdatangan setelah harga susu impor yang bebas bea masuk dan PPN telah mendominasi pasar dan mengikis keberlanjutan produksi susu dalam negeri. Protes dari peternak di Boyolali, Jawa Tengah, dan Pasuruan, Jawa Timur, hingga aksi membuang susu adalah gambaran ketidakpuasan yang nyata. Peternak berharap pemerintah berpihak pada mereka dengan memberlakukan kembali tarif impor. Kementerian Pertanian (Kementan) merespons kondisi ini dengan mengajukan rancangan Peraturan Presiden yang menghidupkan kembali kewajiban bagi industri untuk menyerap susu dari peternak lokal.
Kondisi peternak dan koperasi susu menjadi sorotan belakangan ini setelah para peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali mengeluhkan pembatasan kuota penyerapan susu oleh industri pengolahan susu (IPS). Para pengepul susu dan peternak melakukan aksi protes pada Sabtu (9/11/2024) dengan aksi mandi menggunakan susu yang tak terserap IPS. Produksi susu oleh peternak sapi perah dan pengepul susu di Boyolali mencapai 140.000 liter per hari. Belakangan, serapan IPS hanya sekitar 110.000 liter per hari, jadi sisa 30.000 liter per hari tak terserap pabrik.
Upaya memperkuat produksi susu lokal pun mulai ditindaklanjuti pada tingkatan daerah. Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur, Drh. Ainur Alfiah menegaskan pembatasan kuota susu telah dihapus setelah koordinasi Kementan dengan pimpinan IPS, importir susu, asosiasi peternak, serta dinas peternakan daerah terkait.
Ketua Koperasi Suka Makmur Kabupaten Pasuruan, Evie Zainal Abidin mengapresiasi langkah Kementan. Pihaknya setuju dengan penghapusan pembatasan kuota oleh IPS.”Pada tahun 1985 muncul SKP antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian tentang produksi susu dalam negeri. Menjelang Indonesia krisis pada tahun 1997, sudah bisa memasok kebutuhan susu di dalam negeri hampir 50 persen,” jelasnya, Selasa (12/11/2024).
Evie juga menekankan pentingnya menyepakati standar laboratorium antara peternak susu dan industri pengolahan susu. Hal itu sebagai standar mutu sesuai standard operating procedure (SOP). “Jangan sampai di laboratorium koperasi susunya dites baik, tapi di laboratorium pabrik justru tidak. Ini menjadi dilema para peternak susu yang ada di daerah,” imbuhnya. [SP-03]
Leave a Reply