Korban Kriminalisasi dan Peradilan Sesat Lapor ke Banwas MA dan Komisi Yudisial

Ilustrasi keadilan (Ist)
Ilustrasi keadilan (Ist)

Jakarta, SP – Korban kriminalisasi akibat peradilan sesat di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta terus mencari keadilan. Setelah melaporkan ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaaan, pengaduan pun dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA), Badan Pengawasan (Banwas) MA, Komisi Yudisial (KY). Hal itu untuk membuka perilaku oknum aparat penegak hukum yang menjadi bagian dari mafia peradilan.

Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia menegaskan peradilan sesat menyebabkan kriminalisasi atas korban yang mencari keadilan. Dalam kasus tanah, justru para mafia tidak terjerat hukum tetapi pemilik sah malah dikriminalisasi.

Gabriel Goa selaku Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia di Jakarta, Selasa (22/3/2022), menegaskan pihaknya mendapatkan pengaduan dari korban peradilan sesat, Devid dan Effendi.
Untuk itu, atas nama korban, Padma sudah melaporkan ke Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung terkait Jaksa Penuntut Umum Ike Rosmawaty, SH, dari Kejaksaaan Negeri Jakarta Pusat. Korban mengklaim telah menjadi korban kriminalisasi hukum dan diskriminasi hak asasi manusia (HAM). Sedangkan laporan ke Banwas MA, MA, dan Komisi Yudisial, terkait dengan peradilan sesat oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dan majelis hakim PT DKI Jakarta.

“Jadi kemarin sudah kami sampaikan surat resmi ke KY, MA dan Banwas MA. Pekan lalu sudah dikirimkan juga ke Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan. Oknum jaksa dan hakim patut diduga menjalankan peradilan sesat,” tegasnya.

Dikatakan, ada sejumlah bukti dan indikasi yang menguatkan peradilan sesat sehingga terjadi kriminalisasi. Mulai dari tudingan mafia tanah tanpa dasar hukum, bukti-bukti yang tidak dihadirkan dalam sidang, adanya kesepakatan bersama dengan pelapor, penetapan pasal dakwaan yang keliru hingga mengabaikan penerapan keadilan restoratif.

“Banyak kejanggalan sejak ditangani polisi, jaksa dan hakim. Salah satunya mengabaikan penerapan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud Pasal 14 Peraturan Kejaksaan Agung RI No. 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif,’ tegas Gabriel.

Cuplikan surat pengaduan
Cuplikan surat pengaduan ke Komisi Kejaksaan (Ist)

Untuk diketahui, kuasa hukum Devid dan Effendy yakni Dr JB Gregorius, SH, MA telah mengajukan permohonan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tetapi diabaikan. Pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang mau dikonfirmasi pada Senin (21/3/2022) tapi belum berhasil.

“Masih banyak bukti-bukti seperti yang disampaikan kawan-kawan dari Padma tersebut. Tidak bisa dipungkiri ada peradilan sesat dan menguatkan dugaan mafia hukum. Kami akan terus melakukan berbagai upaya untuk mencari keadilan,” kata Gregorius.

Devid dan Effendy dikenakan Pasal 335 KUHP jo pasal 55 Ayat (1) KUHP. Selanjutnya, pihak pelapor mencapai kesepakatan dan mengajukan pencabutan perkara kepada Kepolisian Metro Jakarta Pusat.

Kemudian, pada 13 Juli 2021 berdasarkan Putusan No. 364/Pid.B/2021/PN Jkt.Pst Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dengan Hakim Ketua Wadji Pramono SH, MA bersama Hakim Anggota Purwanto SH, MA dan Saptono Setiawan SH, MA telah menyatakan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum No. Reg. Perk: 116/JKTPS/05/21 tanggal 21 Mei 2021 batal demi hukum dan membebaskan para korban.

Ironisnya, dakwaan tersebut tidak sesuai tudingan dari Polres Jakarta Pusat bahwa mereka adalah mafia tanah. Kemudian, terjadi lagi peradilan sesat di PT DKI Jakarta dalam amar putusan 22 Pebruari 2022 oleh Majelis Hakim yakni Tjokorda Rai Suamba,SH,MH (Ketua Majelis), lalu Binsar Pamopo Pakpahan,SH,MH dan Gunawan Gusmo,SH,M.Hum sebagai Hakim Anggota.

Berdasarkan penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 13 Januari 2022 Nomor 13/Pid/2022/PT DKI memutuskan perkara berbeda pasal pidananya yakni dari pasal pidana 335 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana perbuatan tidak menyenangkan menjadi pasal 114 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

“Peradilan sesat sepertinya sudah diatur dari tingkat PN hingga PT DKI Jakarta. Miris dan sangat menyedihkan PT DKI yang seharusnya mengungkap kebenaran dan keadilan justru melakukan kesalahan fatal. Inilah namanya mafia hukum dan kriminalisasi,” kata Gabriel. [PR/SP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*