Radio Tjawang, Rachmat Gobel dan Membangun Kemakmuran Bangsa

Jakarta, SP – Juni 2012 sore, saya dan N Syamsuddin Ch Haesy berkunjung ke kantor Rachmat Gobel di Cawang, Jakarta Timur. Kantor satu lantai ini terkesan tua. Suasana semakin terasa di sebuah ruangan di sudut kanan kompleks perkantoran yang luas ini. Ada seperangkat kursi lama, meja kayu, lukisan, dan radio berkaki empat.

“Ini ruangan ayah saya, sejak dulu tidak berubah, bahkan posisi kursi dan meja tetap seperti dulu. Saya mempertahan keasliannya sebagai kenangan, juga spirit,” ujar Rachmat Gobel, menjawab keheranan kami. Ruangan ini seakan jendela masa lalu.

Awalnya, saya berpikir ini aneh. Di saat sejumlah pengusaha membangun kantor megah, bertingkat, dan perlengkapan mewah, Rachmat justeru merawat ruangan berusia puluhan tahun di pojok kantor pusat Panasonic Gobel. Tidak hanya satu ruangan, tapi hampir semua bangunan di kompleks ini tetap berlantai satu dan desain lama –berjejer, mirip ruang-ruang sekolah.

Merawat ruangan warisan masa lalu –yang dibangun pada sekitar 1954 — merupakan bagian dari kecintaan, penghormatan, dan kebanggaan besar seorang anak pada almarhum ayahnya: Thayeb Mohammad Gobel, yang wafat 21 Juli 1984 dalam usia 53 tahun.

Putra kelahiran Tapa, Bone Bolango, Gorontalo, 12 September 1930 ini, adalah pelopor industri elektronik. Pada 1950, Thayeb Mohammad Gobel melalui perusahaannya, PT Transistor Radio Manufacturing, memproduksi radio transistor bermerek Tjawang, berbentuk persegi panjang, tombol frekuensi besar di depan kanan, dan tombol volume di bawahnya. Inilah radio pertama buatan Indonesia.

Radio Tjawang –Cawang adalah nama lokasi produksi pertama radio– menangkap gelombang short wave (SW), menggunakan batre, dan menerima siaran RRI dari Jakarta untuk seluruh pelosok wilayah Indonesia. Semangat Thayeb Gobel, radio ini tidak sekadar hiburan rakyat, tapi juga menyatukan Indonesia –semangat kebangsaan yang sangat kuat.

Sukses membuat lebih sejuta radio, Thayeb Mohammad Gobel memproduksi sekitar 10 ribu televisi hitam putih menjelang Asian Games 1962 di Jakarta. Siaran Asian Games yang dipancarkan TVRI, menyebar ke seluruh Indonesia. Bekerja sama dengan Matsushita Electric Industrial Co. Jepang, usaha Gobel terus meningkat pesat.

Batas usia tidak ada yang tahu. Thayeb Mohammad Gobel wafat dalam usia 53 tahun, masih relatif muda. Meninggalkan tujuh orang anak, dua lelaki lima perempuan. Dan, tentu usaha yang sedang maju pesat. Rachmat anak kelima, tapi lelaki pertama. Adik bungsunya lelaki, Abdullah Gobel. Usia Rachmat masih sangat muda, 22 tahun dan sedang kuliah di Jepang.

Tidak ada pilihan. Setelah menyelesaikan kuliah, Rachmat kelahiran Jakarta, 3 September 1962 ini harus meneruskan usaha ayahnya. Tentu tidak mudah untuk mempertahankan, apalagi membesarkan. Dalam buku “Rachmat Gobel Membangun Kemakmuran” karya Nasihin Masha, soal pelik ini dapat dilalui Rachmat.

Nasihin mendiskripsikan pergulatan seorang pemuda 22 tahun, ketika itu. “Kadang ada rasa pahit saat mengenangnya, tapi jika tidak dididik dengan keras oleh ayah saya, mungkin saya tak bisa seperti ini,” kenang Rachmat (halaman 12).

Tidak seperti kebanyakan anak orang berada, Rachmat justru didik dengan keras oleh ayahnya. Dia diperlakukan sama dengan karyawan pabrik. Semasa SMP, setiap musim libur, Rachmat berangkat ke pabrik.Tidak boleh naik mobil pribadi, harus naik angkot dan bus kota.
“Saya mengepel, menyapu, membersihkan toilet, dan juga ikut kerja pabrik seperti packing dan lain-lain. Sama seperti buruh lainnya. Datang dan pergi harus mengisi absen,” katanya seperti dilansir antaranews.com.

Ketika SMA, ada sedikit perubahan. Rachmat diangkat sebagai ajudan direktur –yang tentu juga karyawan ayahnya– membawa-bawa tas, menyiapkan dokumen. Tapi hari harus berangkat pagi, karena naik bus kota dan mengisi absen, seperti buruh pabrik lainnya.

Saat itu ia kelas 2 SMA. Rachmat sering ikut ke Polri, Imigrasi, Kantor Pajak, dan Kantor Bea dan Cukai. Ada kalanya dia menunggu di luar. Jika ada pekerjaan yang tak sesuai harapan, ayahnya menegur dengan sangat keras. Rachmat melanjutkan pendidikan di Jepang. Namun situasi hampir sama. Di Jepang, Rachmat menjadi buruh di Panasonic, perusahaan yang kerja sama dengan Gobel.

“Saya tidak diperlakukan sebagai mitra, tapi sebagai karyawan pada umumnya,” kata Rachmat.

Hari-hari itu ia lakoni secara terus-menerus. Di Jepang, Rachmat juga bekerja di restoran dan menjadi loper koran. (halaman 13). Dan, inilah jawaban atas didikan keras itu: Saat ayahnya mulai sakit-sakitan, Rachmat dipanggil, diajak bicara secara khusus. “Ayah minta maaf atas caranya mendidik saya yang sangat keras. Saya memeluknya dan menangis. Semua rasa pedih hilang. Semua yang ayah lakukan ada maksudnya”, kenang Rachmat. “Saya dididik ayah untuk membunuh ego saya”.

Membentuk Karakter
Thayeb Mohammad Gobel membentuk karakter Rachmat dengan caranya. Awalnya, sebagai anak muda yang tingkat emosional belum stabil, tentu hati kecilnya berontak. Namun, Rachmat –yang telah ditinggal wafat Ibunya, Annie Nento, saat berusia enam tahun– sayang pada ayahnya, patuh pada orangtua, seperti ajaran agama yang ditanamkan ayahnya. Rachmat belajar tentang kerendahhatian, kepedulian, dan kesahajaan.

“Saya beruntung dididik seperti itu. Walau saat itu di hati kecil ada rasa berontak. Tapi semua harus saya jalani dengan patuh dan disiplin,” katanya.

Dari didikan keras itu, Rachmat tidak saja mampu mempertahankan warisan orangtuanya, tapi membesarkannya. Panasonic Gobel Group salah satu perusahaan besar Indonesia, memproduksi berbagai alat elektronik, alat rumah tangga, kimia, properti, transportasi, juga logistik.

Keberhasilan orangtua mendidik anaknya, ketika anaknya mampu melampaui prestasi orangtuanya. Rachmat meraih itu, termasuk di bidang sosial politik.

Thayeb Mohammad Gobel (alm) pernah menjadi Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari unsur Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1973–1978, masa kepengurusan MS Mintaredja.

Rachmat yang masih muda saat itu, telah bersentuhan dengan aura politik ayahnya, yang aktif sebagai pimpinan pusat PSII. Jadi, ketika Rachmat –Menteri Perdagangan (2014-2015)– aktif di Partai Nasional Demokrat (Nasdem), tentu bukan hal yang baru baginya di dunia politik, seperti juga di dunia industri. Kini, Rachmat meraih posisi Wakil Ketua DPR RI (2019-2024), mewariskan darah politik ayahandanya.

Thayeb Mohammad Gobel (alm) adalah model bagi Rachmat dalam masa dan tantangan berbeda. Filosofi Pohon Pisang –yang dipopulerkan ayahnya– menjadi jalan baginya dalam bersikap dan bertindak, tidak saja di perusahaan, tapi juga di masyarakat, dan dunia politik. Pohon Pisang bermakna ikhlas berkorban, bermanfaat bagi manusia, regenerasi, dan kebersamaan. Pohon pisang tidak akan mati sebelum anak-anaknya tumbuh di sekitarnya.

Dalam buku “Rachmat Gobel Membangun Kemakmuran” terbitan Buku Republika ini, Nasihin Masha dengan lancar bertutur tentang Rachmat Gobel. Kemampuan mantan Pemimpin Redaksi Republika ini menulis –di antaranya menulis kolom Resonansi di Harian Republika, menganalisa sosial-politik– menjadikan buku ini bukan biografi seperti umumnya tentang tokoh, tapi gagasan, pemikiran, dan cita-cita.

Dengan gaya bertutur, Nasihin tidak sekadar mencatat, tapi memberi konteks sejarah dan situasi masa itu. Ia menyebutnya sketsa kehidupan dan tentang sketsa gagasan. Dari sketsa itu tergambar garis besar tentang sosok, gagasan, cita-cita, dan laku jejak Rachmat sebagai pribadi, pengusaha, dan sebagai seorang pejabat negara.

Nasihin betul. Buku 281 halaman ini, berisi gagasan dan pandangan Rachmat, di antaranya soal membangun pertanian tanpa subsidi, tentang kontroversi kereta api cepat, UU Ciptaker, pinjaman online yang merugikan rakyat, nasib Garuda Indonesia, dan tentu soal problem pertanian, koperasi dan usaha mikro kecil menengah –yang menjadi fokus perhatiannya.

“Petani tetap terjebak pada kemiskinan, kesulitan mendapatkan pupuk dan bibit saat musim tanam, harga gabah jatuh saat panen, hingga ujungnya tanah dijual untuk menyambung hidup. Pada sisi lain, bangsa ini selalu dihadapkan pada harga beras yang fluktuatif dan momok kontroversi impor beras. Situasi ini sering dikaitkan dengan pemburu rente dan mafia beras, yang mengendalikan politik beras”. (halaman 217).
Saya telah tuntas membaca buku bagus dengan alur dan bahasa yang mengalir ini, sambil menanti buku berikutnya, mungkin saja, Rachmat Gobel –pohon pisang bangsa besar ini.

Ditulis Asro Kamal Rokan, Wartawan Senior

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*