Krisis Kelapa, Perpekindo Berbeda dengan HIPKI dan APKI

JAKARTA, SP – Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) menolak keras wacana moratorium (penghentian sementara) ekspor kelapa selama enam bulan. Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) dan Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI) mendorong perlunya hilirisasi kelapa.

Ketua Umum Perpekindo Muhaemin mengatakan jika kenaikan harga kelapa ialah momen yang sudah dinanti-nanti oleh petani kelapa setelah puluhan tahun terpuruk. Perpekindo menilai usulan moratorium yang digaungkan Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Industri Kelapa sebagai langkah ego-sektoral.
Industri mengklaim kekurangan bahan baku akibat ekspor, tetapi petani menilai masalahnya terletak pada tata kelola hulu-hilir yang tidak pro petani.

“Jika industri kekurangan bahan baku, mengapa tidak membangun kemitraan dengan petani? Selama ini, mereka membeli kelapa dengan harga murah, lalu menjual produk olahan dengan margin tinggi. Ini bukan solusi, tapi eksploitasi,” terang Muhaemin dalam keterangan resminya.

Muhaemin mencatat, kenaikan harga telah memicu geliat replanting (penanaman ulang) di beberapa daerah. “Petani mulai merawat pohon tua dan menanam bibit unggul. Tapi semua ini bisa pupus jika moratorium diterapkan,” tambahnya.

Data Perpekindo, terdapat sekitar 6 juta kepala keluarga petani kelapa di Indonesia. Jika dihitung dengan tanggungan keluarga (rata-rata 2 anak per petani), ada 18 juta jiwa yang bergantung pada sektor ini. Belum termasuk tukang panjat dan tukang kupas kelapa.

Perpekindo juga berharap pemerintah menyediakan skema pendanaan replanting untuk meningkatkan produktivitas kebun tua, serta menghentikan alih fungsi lahan kelapa dengan insentif fiskal bagi petani.

Sebelumnya, Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) dan Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI) mendorong perlunya hilirisasi kelapa. Keduanya membuat kesepakatan sebagai respons terhadap kondisi darurat kelapa.

Jeffrey Koes Wonsono, Wakil Ketua Umum I HIPKI, menekankan pentingnya hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah kelapa. “Dengan kelapa diolah di dalam negeri menjadi berbagai produk turunan, akan menyerap tenaga kerja, menumbuhkembangkan ekonomi lokal, serta meningkatkan pemasukan negara,” ujarnya.

al senada juga ditekankan Soepri Hadiono, Ketua Umum APKI, menyoroti perlunya sinergi antara petani dan industri untuk mendukung kesejahteraan petani.

Pada Rabu (30/4/2025), Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menerima aspirasi pelaku usaha dari HIPKI. Kemenperian terus berkoordinasi secara intensif bersama dengan pelaku usaha dan asosiasi untuk mencari solusi suplai permintaan kelapa, dengan tetap mengedepankan kesejahteraan petani.

Menperin menyatakan bahwa industri pengolahan kelapa mempunyai kepentingan yang sama untuk mengutamakan kesejahteraan petani. Hal ini juga mendukung keberlanjutan kegiatan usaha berbasis kelapa dengan menjaga petani kelapa tidak beralih ke komoditas lain karena akan berdampak kepada kegiatan usaha pengolahan menjadi semakin sulit.

Menurutnya, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa lima besar dunia namun belum memiliki kebijakan tata niaga bahan baku kelapa seperti pelarangan ekspor, pungutan ekspor, serta larangan terbatas (lartas).

“Sementara negara-negara produsen kelapa lainnya seperti Filipina, India, Thailand dan Sri Lanka telah menerapkan kebijakan larangan ekspor untuk menjaga nilai tambah ekonomi kelapa, lapangan pekerjaan, dan keberlangsungan industri pengolahan kelapa,” katanya.

Menperin menyampaikan bahwa sejak program hilirisasi kelapa dicanangkan telah berhasil menarik investasi dari berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, China, dan Sri Lanka namun saat ini perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan beroperasi karena kelangkaan bahan baku kelapa.
Hal itu karena kelapa Indonesia lebih cenderung diekspor dalam bentuk kelapa bulat karena belum ada regulasi tata niaganya.

“Eksportir tidak dipungut pajak, sedangkan industri dalam negeri membeli kelapa dari petani dikenakan pajak PPh pasal 22 sehingga playing field antara eksportir dengan industri kelapa dalam negeri tidak sama,” kata Agus.

Disampaikan Menperin bahwa kebutuhan konsumsi, utamanya untuk rumah tangga dan industri kecil dan menengah (IKM), yakni 2 miliar butir kelapa per tahun. Adapun pangsa ekspor produk kelapa pada tahun 2024, yakni sebesar 2 miliar dolar AS atau Rp 33,2 triliun (kurs Rp16.619), di mana 85 persen merupakan produk olahan kelapa. [SP/KP/BM]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*