Dari Penjual Ikan dan Tukang Becak, Ini Sosok Legenda Sepak Bola Andi Ramang

TULISAN ini dicuplik dari ulasan media KarebaSulsel.com belum lama ini yang menjelaskan masa kecil Ramang yang kemudian menjadi legenda sepak bola Indonesia. Sejumlah sumber menyebutkan Ramang terlahir dari orang tua yang bekerja sebagai abdi kerajaan. Ayahnya, Nyo’lo, menjadi ajudan Raja Barru ke-18, Djindi Karaen Lembangparang, juga berdagang ikan di pasar.

Kepiawaian mengolah si kulit bundar, diwarisi dari ayahnya. Nyo’lo sangat pandai bermain sepak raga–permainan tradisional Makassar yang menggunakan bola dan terbuat dari rotan–atau kini dikenal dengan sepak takraw. Dan pada masa itu, olah raga tersebut kerap dipertontonkan dalam acara-acara kerajaan.

“Ramang kecil sering menonton pertunjukan sepak raga. Sang ayah, Nyo’lo turut serta bermain dalam tim sepak raga,” tulis Fitriawan Umar dalam bukunya Ramang: Legenda Sepak Bola Indonesia.

Ramang turut berlatih sepak raga. Tapi dia merasa kesulitan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa menguasai. Ketika sudah mahir, Ramang mengikuti jejak ayahnya, bertanding sepak raga dalam agenda kerajaan. Ada penonton menilai Ramang jauh lebih hebat dibandingkan ayahnya. Dia pun diam-diam mulai belajar permainan sepak bola saat duduk di sekolah dasar.

“Bila hari pasar tiba, Ramang tidak ikut bermain bola karena harus membantu keluarganya mencari nafkah dengan berjualan ikan di pasar,” jelas Fitriawan.

Ramang kerap membantu orang tuanya berjualan di Pasar Segeri yang berjarak 25 kilometer dari rumah. Jarak sejauh itu ditempuhnya dengan sepeda dan para penjual ikan tersebut dikenal dengan sebutan pagandeng ikan. Tak ayal, rutinitas mengayuh, membuat kakinya menguat. “Jadi dari segi stamina, dia sudah terbentuk,” ujar M Dahlan Abubakar dalam film dokumenter FIFA (Fédération Internationale de Football Association/Induk organisasi sepak bola dunia).

Saat menginjak remaja, Ramang memulai karier sepak bolanya di klub Bond Barru. Setelah menikah muda dengan perempuan bernama Sarinah, Ramang menghidupi keluarga barunya dengan membuka warung kopi. Kemampuan Ramang bermain sepak bola kian berkembang dan dipuji banyak kalangan, termasuk Andi Mattalatta, seorang panglima TNI di Sulawesi Selatan saat itu. Andi Mattalatta dan Ramang saling kenal karena faktor rumah yang tidak berjauhan di Sumpang Binangae.

Melihat Ramang mempunyai potensi dalam sepak bola, Andi Mattalatta menyarankannya pindah ke Makassar untuk bisa berlatih bola secara profesional. Perjuangan menjadi pesepak bola profesional tidak mulus karena Ramang mesti menutup warung kopinya. Menjelang proklamasi 1945, Ramang yang sudah menjejakkan kaki di Makassar. Namun jalan indah menjadi pesepak bola sulit tercapai. Ia justru harus mencari nafkah untuk keluarganya. Ramang bekerja sebagai tukang becak dan kernet truk. Satu tahun kemudian, ia baru bergabung dengan tim Coution Voetbal Bond, atau Persatuan Sepak Bola Induk Sulawesi, Persisi.

“Namun apa pun yang terjadi, coba kalau istri saya tidak teguh iman, mungkin (bisa) sinting,” terang Ramang mengingat masa-masa awal sebelum menjadi pemain profesional, dikutip dari Majalah Tempo.

Nama Ramang mulai menjadi buah bibir setelah mengikuti kompetisi yang diadakan Makassar Voetbal Bond (MVB) atau Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) pada 1947. Perjuangan Ramang menggambarkan betapa kemampuan, semangat dan bakat alamiah anak-anak Indonesia bisa dipoles menjadi pemain dunia. Fasilitas dan dukungan lainnya merupakan penunjang. Mudah-mudahan semakin banyak generasi muda Indonesia mengikuti jejak Ramang, bukan saja sebagai pemain sepak bola tetapi dalam berbagai bidang keahlian sesuai tuntutan jaman. [KS/SP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*