
Oleh: Mubasyier Fatah
Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
KETIKA banyak negara mulai berhasil melepaskan diri dari jerat korupsi, Indonesia justru masih ‘terpasung’. Terbukti, laporan Transparency International 2023 menyebut Corruption Perception Index (CPI) Indonesia memperoleh skor 34 poin dari 100 sehingga Indonesia berada pada peringkat 65 terburuk soal korupsi dari total 180 negara yang disurvei. Angka ini tidak jauh berbeda dengam tahun 2022. Pada sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92. Dari dimensi Indeks Persepsi Korupusi Indonesia tahun 2024 sebesar 3,76, menurun sebesar 0,06 poin dibandingkan indeks tahun 2023 (3,82). Sementara itu, Indeks Pengalaman Korupsi tahun 2024 (3,89) menurun 0,07 poin dibanding tahun 2023 (3,96).
Ditilik dari wilayah pesebaran korupsi, diketahui bahwa IPAK masyarakat perkotaan tahun 2024 lebih tinggi (3,86) dibanding masyarakat perdesaan (3,83). BPS juga mengungkapkan pada 2024, IPAK masyarakat berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,81; SLTA sebesar 3,87; dan di atas SLTA sebesar 3,97. Tren nilai IPAK di atas memberi pesan bahwa orang Indonesia cenderung semakin antikorupsi. Semakin mendekati 5 menunjukkan masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sebaliknya nilai indeks mendekati 0 menunjukkan masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Namun, makna angka IPAK berbanding terbalik dari pertumbuhan jumlah kasus korupsi yang meningkat dari tahun ke tahun.
Diketahui, pada tahun 2019 tercatat 271 kasus korupsi. Tahun 2020 naik menjadi 444 kasus, tahun 2021 (533 kasus), tahun 2022 (533 kasus) dan tahun 2023 (731 kasus). Sedangkan, potensi kerugian negara akibat korupsi pada tahun 2023 turun dibandingkan tahun 2022, yaitu sebesar Rp 28,4 triliun dibandingkan Rp 42,7 triliun.
Sebetulnya, Indonesia tidak diam berhadapan dengan ‘badai korupsi’. Pemerintah melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pihaknya sedang menggunakan strategi Trisula untuk memerantas korupsi. Strategi Trisula meliputi penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Sula penindakan adalah strategi represif, dimana KPK menyelidiki, menangkap dan menyeret koruptor ke meja hijau, membacakan tuntutan, menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan hingga eksekusi. Sula pencegahan mencakup perbaikan pada sistem sehingga meminimalisasi terjadinya tindak pidana korupsi.
Pada strategi ini, KPK melakukan berbagai kajian untuk kemudian memberikan rekomendasi kepada kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan langkah perbaikan. Sula pendidikan digalakkan lewat kampanye dan edukasi untuk menyamakan pemahaman dan persepsi masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa korupsi berdampak buruk dan harus diperangi bersama.
Teknologi Blockchain
Tanpa meremehkan strategi Trisula KPK, sebetulnya, belakangan ini di dunia berkembang sebuah ‘senjata alternatif’ melawan korupsi. Senjata alternatif itu adalah ‘blockchain’. Blockchain adalah teknologi berbasis data yang memungkinkan seseorang atau sebuah organisasi atau institusi berbagi informasi secara aman dan transparan di seluruh jaringan. Fitur blockchain tidak dapat diubah. Artinya data tidak dapat dihapus atau dimodifikasi tanpa konsensus dari jaringan. Jika seseorang mencoba mengubah data, semua peserta lainnya wajib diberi tahu.
Blockchain paling dikenal karena perannya dalam sistem mata uang kripto. Namun, blockchain semakin lazim dipakai mengurangi risiko korupsi karena membuat keputusan pemerintah dan pencatatan publik lebih transparan. Cara kerja blockchain untuk mencegah korupsi antara lain sebagai berikut: Pertama, memfasilitasi komunikasi yang transparan. Blockchain menghubungkan dua pihak yang terpercaya tanpa memerlukan perantara atau pihak ketiga yang tidak terpercaya.
Kedua, mengotomatiskan transaksi “kontrak pintar”. Blockchain dapat digunakan dalam platform pengadaan (procurement). Blockchain dapat mengotomatiskan transaksi, yang dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses. Jadi, blockchain mencegah aktor-aktor kuat yang mencoba mengendalikan pasar, proses tender dan transaksi di sektor pemerintahan.
Ketiga, mencatat transaksi pemerintah dan membuat catatan sebagai dokumen yang anti-rusak. Blockchain menyediakan platform aman untuk mencatat semua transaksi dan kontrak pemerintah, dan catatan itu sulit diubah pegawai atau birokrat yang korup. Keempat, blockchain dapat digunakan untuk menandatangani dan mengesahkan dokumen. Kelima, blockchain dapat memfasilitasi pengawasan dan pemeriksaan pencatatan (dokumen), sebuah proses penting yang dapat mengurangi risiko korupsi.
Sejauh ini, sudah ada beberapa pemerintahan negara yang berhasil menerapkan blockchain dan mulai melihat manfaatnya dibandingkan sistem lama. Pertama adalah Estonia. Negara berdaulat di kawasan Baltik di Eropa Utara itu dikenal sebagai pelopor penerapan blockchain tingkat nasional. Sejak tahun 2012, Estonia mengintegrasikan blockchain untuk mengamankan catatan kesehatan dan sistem kode peradilan, legislatif, keamanan, dan komersial. Ini meningkatkan integritas data secara signifikan, mengurangi birokrasi, dan meningkatkan efisiensi layanan publik. Kedua, Uni Emirat Arab (UEA). Pemerintah UEA meluncurkan Strategi Blockchain Emirates 2021 dengan tujuan memanfaatkan blockchain untuk mengubah 50 persen transaksi pemerintah menjadi platform blockchain pada tahun 2021. Penerapan tersebut mampu mengurangi dokumen, hemat biaya, dan meningkatkan efisiensi transaksi pemerintah.
Ketiga, Georgia. Georgia telah memanfaatkan blockchain untuk memvalidasi transaksi pemerintah terkait properti, meningkatkan keamanan dan kecepatan layanan terkait transaksi properti. Buku besar publik blockchain memastikan transparansi dan secara signifikan mengurangi aksi penipuan. Keempat, Singapura. Melalui inisiatifnya yang disebut Proyek Ubin, Otoritas Moneter Singapura telah menjajaki penggunaan blockchain dan teknologi buku besar terdistribusi untuk kliring dan penyelesaian pembayaran dan sekuritas. Inisiatif ini berpotensi meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko dalam proses keuangan.
Kelima, Swedia. Otoritas kepemilikan tanah Swedia, Lantmäteriet, telah menyelesaikan uji coba sistem dengan blockchain untuk pendaftaran tanah. Sistem ini meningkatkan keamanan dan efisiensi transaksi tanah dengan menyediakan satu sumber kebenaran yang dapat diandalkan. Keenam, Australia. Bursa Efek Australia (ASX) menerapkan sistem berbasis blockchain menggantikan sistemnya saat ini dalam mencatat kepemilikan saham dan mengelola kliring dan penyelesaian transaksi ekuitas. Ini menyederhanakan proses, mengurangi biaya, dan meningkatkan keamanan.
Elemen Kontekstual
Apakah penerapan blockchain secara otomatis sukses mencegah tindak kejahatan korupsi? Belum tentu juga! Berhasil atau tidaknya blockchain mencegah korupsi sangat bergantung pada elemen kontekstual – infrastruktur, sistem hukum, lingkungan sosial atau politik – dan bukan pada teknologi itu sendiri. Penerapan teknologi blockchain dalam tata kelola memengaruhi aspek fundamental masyarakat, seperti kepercayaan pada lembaga, identitas, transparansi, serta perlindungan data dan privasi.
Dalam konteks kemanusiaan, blockchain dirancang beroperasi dalam lingkungan yang kepercayaannya pada data/kode lebih besar daripada kepercayaan pada individu atau lembaga. Namun, kenyataanya teknologi ini tetap menuntut partisipasi sumber daya manusia. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2015, komunitas Linux, yang bergabung dengan IBM dan Intel, mendirikan proyek Hyperledger. Hyperledger terdiri dari beberapa kerangka kerja khusus, salah satunya, Hyperledger Fabric. Saat itu, Hyperledge menerapkan blockchain pribadi sebagai alat meningkatkan transparansi di unit keuangannya. Ketika blockchain menyimpan daftar barang fisik, penjaga gudang tepercaya harus memastikan bahwa realitas fisik dan informasi digital saling sesuai. Di sini tampak bahwa blockchain sangat bergantung pada faktor manusia.
Hal lain yang perlu dicatat adalah fitur-fitur blockchain dapat memuat data konflik individu dengan hak-hak individu seperti hak privasi. Oleh karena itu pengimput data ke blockchain harus memiliki tingkat akurasi, kehati-hatian dan kepatuhan kepada prosedur pengimputan data yang tepat. Mengingat data/catatan yang dimasukkan dalam blockchain bersifat transparan dan tidak dapat diubah.
Perlu diingat, pada tahap awal, teknologi blockchain tidak memiliki standar yang ketat dan terminologi yang disepakati. Jadi, para pengambil keputusan harus sepenuhnya memahami teknologi blockchain yang sedang berkembang untuk mengukur penerapannya dalam konteks yang berbeda. Di negara-negara berkembang, penting bagi pemerintah memahami apa saja prasyarat sebelum meluncurkan proyek berbasis blockchain. Artinya, pemerintah harus memastikan ketersediaan infrasrtukur digital, konektivitas (internet), data digital, dan literasi digital. Tanpa itu, blockchain tak dapat diterapkan.
Catatan penting terakhir, blockcain sekalipun efektif, memiliki kelemahannya. Salah satunya blockchain dapat dihambat oleh pemerintah, pihak yang dukungannya dibutuhkan dalam memerangi korupsi. Blockchain itu penting dan dapat dijadikan ‘senjata alternatif’ untuk melawan korupsi. Namun, yang jauh lebih penting adalah lembaga seperti KPK. Hal yang juga penting untuk diingat adalah saat menggunakan blockchain untuk antikorupsi, perlu menerapkan disiplin yang sama dengan alat/strategi lainnya. Ibaratnya, ‘palu itu bagus untuk memukul, tetapi tidak semua pukulan dengan palu itu efektif’. Teknologi blockchain akan efektif melawan korupsi tergantung pada manusia yang menggunakannya. Jadi, manusia di balik teknologi blockchain itu tetap yang paling menentukan kesuksesan melawan korupsi. ***
Leave a Reply