Bagian Pertama
“…All Politics is Local…” (Tip O’Neil)
Ermalindus Albinus Joseph Sonbay
(Ojek Antar-Makanan di Tanah Wurundjeri)
Sekadar Pendasaran
Jika mau dibaca dengan konteks Indonesia sejak tata administratif dan politik mulai dilembagakan, pesan O’Neil dari koloni Amerika Serikat di tanah Indian hampir seabad yang lalu ini bisa bermakna, semua yang tidak memiliki interest dan sense terhadap realitas politik lokal, sesungguhnya tidak pernah (memulai) mempelajari politik. Pesan penting lainnya sebagai konsekuensi untuk Indonesia adalah, kemuliaan lokal yang harus dipakai sebagai strategi keberagaman dalam membaca epistemologi persatuan. Unifikasi Indonesia dengan demikian haram hukumnya untuk menginjak kebebasan dan independensi dinamika lokal. Dengan kata lain, konsolidasi elit di dalam rejim “Jakarta sentris” yang terus dipertebal adalah hama sesungguhnya bagi politik lokal, adalah racun bagi politik itu sendiri.
Degradasi ini diafirmasi oleh ter-downgrade-nya politik Indonesia secara luas hanya kepada pakem-pakem elektoral semata. Masyarakat awam dipaksa mengerti politik itu hanya soal elektoral semata, bukan lagi soal ketaktersediaan pupuk, ketiadaan bibit, dikeringkannya sumber air, dicaploknya tanah-tanah ulayat, dihilangkannya habitat biota laut, hingga ter-fait-accompli-nya warga negara dengan hak-haknya untuk ikut saja sajian kadaluarsa dari elit dan ragam pertengkaran murahan dalam jamuan picik bernama pesta demokrasi. Demos dihilangkan dengan sadis, ketika elit berteriak mengenai suksesnya mereka memajukan negara bangsa ini. Demos ditiadakan oleh kejinya manipulasi sistem, rekayasa hukum dan utak-atik kepentingan besar berbasis komplotan di sekitar ‘kekuasaan elektoral’ semata.
Biduk Tanpa Arah NTT
Salah satu biduk yang dibiarkan karatan dan remuk di dalam sejarah panjang pulau-pulau Nusantara bernama Nusa Tenggara Timur (NTT). Selalu hadir sebagai pengisi tiga besar provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) paling rendah sejak Indonesia didirikan. Selalu hadir sebagai provinsi pemenang angka stunting tertinggi, indeks pendidikan terendah, PAD per kapita terendah, Penyedia korban perdagangan orang terbesar, negeri yang diamputasi dari kekayaan laut dan rangkaian geografisnya, Provinsi dengan jebakan hutang koperasi dan rentenir tertinggi, hingga begitu banyak situasi miris lainnya.
Hal-hal minor itu seakan terus dipelihara menjadi kekal agar segelintir elitnya bisa terus menikmati deviden dan omzet besar menjual kemiskinan dan keterbelakangan NTT. Paling jauh adalah, memunculkan lingkaran antek level kedua yang tugasnya hanya menjamin para ‘patron’ terus bisa bebas bermanuver. Jadi, dinamika politik lokal (elektoral semata) yang tanggung dan kerdil di NTT hanya berujung pada relasi pendek tuan-tuan dan komprador di sekelilingnya yang terus mendaku diri sebagai elit NTT. No More.
Lihat saja pengerucutan calon pemimpin NTT 2024-2029 yang berhenti hanya di sekitaran Lema-Suryanto, Laka Lena-Asadoma dan Kamlasi-Garu. Semua pasangan tidak bisa bebas dari konsolidasi nasional. Keberagaman politik Indonesia tidak menerima sumbangannya dari dinamika NTT, malah ‘para Bang Jago NTT’ yang harus tunduk dalam dikte dan kontrol penuh Jakarta Sentris. Dan itulah, definisi politik yang harus diamini secara membabibuta oleh semua yang berada di titik rural/periferal. Kembali, ikut apa kata pusat.
Narasi dan strategi kepemimpinan juga harus disesuaikan dengan register pusat. Harus gemoy, harus ikut kata pak lurah Mulyono, harus ada irisan dengan Koalisi Gemuk, harus berada dalam radar Bansos dan semangat ‘mengerjai’ Gen z, dan lain sebagainya. Kemandirian dan ketajaman berpikir dan berpolitik sebagai NTT ditenggelamkan dalam pola-pola kaku semua elemen politik. Dan yang paling memiriskan adalah tidur dan abainya kelompok muda progresif NTT dalam pembajakan paripurna oligarki nasional. Kelompok muda progresif ini, dipastikan akan ikut menjadi aktor yang terlibat penuh dalam penipuan rakyat yang paripurna.
Orang-orang muda NTT HARUS menerima dengan baik settingan yang dilakukan para ‘pemain’ tanpa bisa melakukan interupsi, apalagi intervensi. Jelaslah, Soeharto dan tabiat-tabiat latennya yang berbahaya tidak pernah bisa dihilangkan dari NTT. Publik NTT hanya bisa ‘manut’ dan mengikuti saja apa pesan, harapan dan imajinasi dari Megawati, Paloh, Bahlil, Agus, Prabowo dan begitu banyak pemimpin partai politik lainnya. Misalnya, Benarkah Emi Nomleni tidak berkualitas dibandingkan dengan wanita Karawang itu? Atau benarkah NTT harus dipimpin mantan penyandang bintang di dalam militer maupun polisi saja? Bersembunyi di manakah begitu banyak akademisi NTT yang sudah berhasil merayap ke posisi kelas menengah? Sudah senyaman itukah kelas menengah ngehek di NTT yang hanya bisa menerima saja, apa kata dan apa perintah pusat? Tolong, jangan mengajak kami untuk berdebat secara tak berujung bahwa semua warga punya hak politik. Argumen ini sesungguhnya telah hampir sempurna menenggelamkan potensi dan kedigdayaan elemen muda progresif Indonesia. Menyerahkan politik NTT hanya kepada mereka yang memiliki uang dan resource politik lainnya.
Elit Rukun Guyub, Rakyat Kecil Terbelah
Definisi di sub judul inilah yang sementara dirayakan dengan tanguh-tangguhnya dalam pesta-pesta politik lokal di seantero Indonesia, termasuk di NTT. Jangan pernah mengharapkan Lema, Laka Lena atau Kamlasi terlibat dalam penajaman gagasan visioner tentang NTT, apalagi adu gagasan sampai level paling tinggi yakni untuk kebaikan masyarakat kecil di NTT. Bersyukur saja, mereka tidak pernah mampir di dalam pesta “Habiki” dan rakyat hanya menikmati gambar-gambarnya. Tetapi, tontonan saling serang antar-buzzer, saling hantam antar-tim sukses hingga bertengkar antar-sesama pendukung adalah tujuan dari politik tak bertujuan yang selalu mereka hidupi. Rakyat harus terbelah.
Para elit, baik yang di level nasional maupun lokal yang membiak dengan pola yang sama akan dengan mudahnya berbaur, guyub-rukun atas nama kepentingan. Hampir tidak ada cerita misalnya elit A angkat parang dan menyerang elit B, atau elit C memaki elit D atas nama gagasan visioner dan strategis dalam politik. Tapi, lazim menjadi tontonan bahwa rakyat kecil dari desa kecil saling hantam karena elektoral. Bahkan, banyak keluarga bisa tidak bersilaturahmi sepanjang lima hingga sepuluh tahun. Dan para elit ini terus membakar dan menajamkan rusaknya kohesi sosial yang ada. Karena apa? Hanya dengan keretakan ini, pembodohan kian mulus, penipuan-penipuan dengan mudah dikonversi menjadi nyanyian surgawi para malaikat dan para nabi. Mereka selalu menjadi pahlawan dan pemenang.
Gerakan tanpa Jembatan Progresif
Jawaban terhadap problematika ini bisa dikembangkan dalam begitu banyak varian. Salah satunya adalah jejaring kuat kelompok muda progresif. Sebuah gerakan yang lagi-lagi bukan dibentuk untuk melayani fantasi dan imajinasi elit. Bukankah semua ‘politisi busuk’ yang ada sekarang selalu jumawa mendaku diri mereka sebagai bagian dari produk generasi ini atau generasi itu? Bukankah sejarah gerakan progresif Indonesia selalu berisi pengulangan yang selain membosankan juga membingungkan? Bukankah ujung dari perlawanan terhadap elit adalah kemewahan sebagai elit yang penuh tipu-tapu?
Diamnya gerakan progresif dalam tema-tema tertentu mendeskripsikan secara transparan kegelisahan dari mudahnya kelompok muda progresif jatuh terpeleset dalam ketiadaan cita-cita dan tumpulnya ideologi. Dan benih-benih kerusakan ini juga sementara dirayakan secara gelap mata di NTT dalam produk demokrasi liberal sedari awal fase reformasi. Dua jenis aktor politik yang terbentuk. Yang bisa ‘gonggong’ terus hingga akhirnya dianggap elit. Atau yang bisa ‘menjilat’ para elit lokal yang menggonggong dan akhirnya terciprat sedikit sisa tulang. Dan tipikal ini dirayakan sebagai sesuatu yang wajar (taken for granted) termasuk oleh semua orang muda progresif yang senantiasa memasukkan dirinya sebagai komplotan manusia progresif. Lalu, kapan Indonesia bisa dibentuk dengan kepingan puzzle dari NTT?
Kami tidak akan memberikan solusi murahan atau nasihat-nasihat moralis. Kami hanya mengandaikan terus ditajamkannya kesadaran kalangan muda untuk cepat dan maju dalam merespons kebiadaban-kebiadaban ini. Termasuk, mempersiapkan jembatan progresif untuk generasi kritis mendatang. Tidak pantas, menyebut diri progresif, sedangkan bernafaspun masih diatur oleh abangda, kakanda, mamanda dan ‘elitda-elitda’ lainnya. Orang muda seakan kehilangan fase perekat di antara begitu banyak episode sejarah. Apa bedanya merayakan kesuksesan gerakan masa lalu dalam kehancuran konsolidasi hari-hari ini? Ingat, banyak petarung sudah distempel sebagai pengkhianat. Semua bermain di sekitaran harga diri yang selalu berusaha ditawar. Berjuang dan melawan, tanpa meretas jembatan menuju masa depan progresif yang unfix dan in the making memerlukan titian demi titian juga.
Sampai kapan harga diri kalian bisa berarak dari Rp 50.000 per lima tahun menuju ke nilai yang tak ternilai sesungguhnya?
(Bersambung!)
Leave a Reply