
Minggu (23/1/2022) pagi di Taman Menteng, Jakarta Pusat, cuaca sangat cerah. Sekitar 200 orang tampak antusias melihat pembuatan eco enzyme dari sampah organik. Sebagian besar dari mereka merupakan anggota Komunitas Eco Enzyme Nusantara (KEEN) Jabodetabek. Komunitas ini juga memberikan sosialisasi, demo pembuatan, testimoni, percobaan dan pemberian sample eco enzyme secara gratis. Selain itu, warga yang hadir juga bisa belajar di booth edukasi eco enzyme.
Komunitas Eco Enzyme Nusantara dibentuk pada 2019 dengan kepedulian yang sama dari pegiat lingkungan hidup atas pemanasan global, pengelolaan sampah, dan polusi. Gerakan dan langkah-langkah kecil seperti yang dilakukan KEEN ini akan berdampak besar jika terus bergulir dan meluas menjadi kesadaran bersama. Apalagi di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta, yang menghasilkan sampah baik organik maupun anorganik, cukup besar, mencapai lebih dari 7.000 ton per hari.
Seperti yang terjadi saat ini di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. TPST itu terus menampung sampah dari Ibu Kota setiap harinya. Sekitar 7.500 ton sampah per hari dari DKI Jakarta masuk ke TPST Bantar Gebang. Andai setiap truk mengangkut 10 ton, bisa dibayangkan ada 750 truk berderet sepanjang 37,5 km. Jika sampah-sampah itu diangkut dalam waktu bersamaan oleh 750 truk, maka truk-truk tersebut mengular dari Tanjung Priok hingga ke Bantar Gebang setiap hari.
Baca : Melangkah dari Taman Menteng, Olah Sampah Organik Jadi Eco Enzyme (2)
Memang tidak mudah mengelola dan mengatasi sampah. Sangat rumit dan kompleks. Terutama sampah-sampah organik (seperti sisa makanan, sayur buah, dan lainnya), karena relatif tidak memiliki nilai tambah jika tidak diolah menjadi produk yang bermanfaat. Sementara itu, sampah anorganik seperti botol plastik, kantong plastik, kemasan plastik, besi, kaca, kaleng bisa didaur ulang (recycle) sehingga dicari para pengepul sampah.
Demikian juga dengan komposisi sampah. Jenis sampah organik jauh lebih dominan dibandingkan sampah yang dapat didaur ulang. Sebetulnya ada ide yang lebih brilian, yaitu mengolah sampah menjadi sumber energi (listrik) melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Namun, biaya investasinya sangat tinggi sehingga harga listrik yang dihasilkan juga tinggi, di atas rerata biaya pokok penyediaan listrik PT PLN (Persero). Oleh karena itu, rencana-rencana pembangunan PLTSa seringkali jalan di tempat.
Pemprov DKI Jakarta melalui badan usaha milik daerah (BUMD) PT Jakpro sedang merancang Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter untuk mengolah sampah menjadai listrik.
Sambil berharap skema waste to energy seperti ITF Sunter beroperasi ke depan, tentu semua pihak harus memikirkan berbagai cara untuk mengurangi persoalan sampah.
Melalui Gerakan
Persoalan sampah tidak bisa hanya diselesaikan pemerintah dengan anggarannya. Sebaliknya, tidak bisa juga persoalan yang sama hanya diserahkan kepada masyarakat. Perlu gerakan dan kesadaran bersama seluruh pemangku kepentingan dalam mengatasi sampah yang kompleks.
Pemerintah melalui regulasi dan anggarannya, warga melalui kesadaran dalam memilah sampah dari rumah, komunitas terus memberikan edukasi dan gerakan dalam mengolah sampah, dan elemen-elemen lain di negeri ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus mendorong gerakan bersama dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan sampah. Demikian juga pengolahan limbah organik menjadi eco enzyme untuk mewujudkan Jakarta lebih bersih dan sehat. Pemrpov DKI terus berupaya dalam mengatasi persoalan sampah melalui berbagai program. Selain membangun Fasilitas Pengolahan Sampah Antara (FPSA), Pemprov DKI juga mengajak peran serta masyarakat untuk mengatasi persoalan sampah melalui program Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) Persampahan.
Kata kunci ‘Kolaborasi’ yang dicetuskan Anies sangat tepat. Peroalan sampah di DKI tidak bisa diselesaikan tanpa kolaborasi antara semua elemen. Pemerintah dengan anggaran besar pun tidak akan mampu menyelesaikan persoalan sampah, jika tidak tumbuh kesadaran warganya dalam mengelola sampah. Kolaborasi yang sangat diperlukan. Pemprov DKI melalui regulasi, anggaran, personel, infrastruktur, dan lainnya, sedangkan warga mulai sadar memilah sampah dari rumah, mulai sadar tidak membuang sembarangan. Bahkan, pengelolaan sampah bisa menjadi kurikulum di sekolah-sekolah. Hal itu agar siswa menularkan kebiasaan baik ke dalam rumahnya sehingga bisa memengaruhi anggota keluarga yang lain. [LN/SZ] Bersambung ke bagian ke-2
Leave a Reply