
Oleh: Kolonel Tek. Dr. Ir. Hikmat Zakky Almubaroq, S.Pd., M.Si., MCF.
(Kaprodi S2 Manajemen Pertahanan Unhan RI)
BEBERAPA tahun silam, ketika artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan mulai muncul, Warren Buffett yang juga salah satu orang terkaya di dunia mengeluarkan pernyataan terkait bahaya AI. Pemegang saham di Berkshire Hathaway, AS, ini sering membandingkan bahaya AI dengan nuklir dalam beberapa kesempatan sejak medio 2023 lalu.
Salah satu bahaya dari AI menurut Buffett adalah penggunannya untuk penipuan, terutama lewat generative AI (genAI). GenAI banyak dipakai untuk melakukan penipuan, misalnya membuat rekaman palsu yang suaranya menyerupai target dan dipakai untuk banyak hal. Dari mulai meminta uang, menyebarkan hoax, sampai aksi balas dendam. Meskipun, diakui ada sisi positip dari pemanfaatan AI tersebut.
Beberapa waktu lalu, sebuah video yang menampilkan hujan salju lebat di Cimahi, Jawa Barat, viral di media sosial. Jalanan tertutup putih, warga berlarian menutup kepala, bahkan terdengar suara takjub menyebut nama daerahnya: “Cimahi, euy!” Video itu ternyata bukan kejadian nyata, melainkan hasil rekayasaa artificial intelligence (AI). Efeknya memang sekadar hiburan, banyak yang tertawa, beberapa percaya, sebagian mengoreksi.
Pertanyaannya: bagaimana jika video seperti itu digunakan bukan untuk main-main, tapi untuk menebar kepanikan? Misalnya, video pesawat jatuh di Bandara Soekarno-Hatta, atau ledakan besar di pusat kota Jakarta dengan narasi “aksi terorisme”. Atau video ribuan orang roboh di jalanan dengan narasi “Covid-25 menyerang Indonesia”.
Yang terjadi bisa jauh lebih serius: kepanikan massal, kepadatan rumah sakit, pengambilan keputusan yang salah, hingga krisis nasional. Ini bukan teori konspirasi. Ini ancaman nyata dari senjata baru bernama: informasi palsu berbasis kecerdasan buatan. Elon Musk pernah mengatakan, “There is a threat far more dangerous than nuclear weapons, Artificial Intelligence”.
Masayoshi Son, CEO SoftBank, bahkan memperkirakan bahwa dalam waktu kurang dari lima tahun ke depan akan lahir artificial super intelligence (ASI), dengan kecerdasan 100.000 kali lipat dari manusia. Yang paling menakutkan dari ASI adalah kemampuannya mengintegrasikan, menafsirkan, dan memanipulasi seluruh database dunia secara real-time. Bayangkan jika ASI mengakses dan menyusun narasi dari 282 sistem data kementerian/lembaga yang baru-baru ini diretas di Indonesia. Ia bisa merangkai fragmen informasi, menciptakan skenario konflik, memecah belah masyarakat, bahkan mengendalikan opini publik secara algoritmik.
Di titik ini, kita harus bertanya dengan jujur: apakah sistem pertahanan Indonesia siap menghadapi bentuk ancaman seperti ini? Jawabannya: belum sepenuhnya. Kita masih terjebak dalam paradigma konvensional. Pertahanan masih dipahami sebatas tank, drone, dan pasukan. Sementara perang informasi, serangan siber, dan infiltrasi data masih dianggap isu sekunder. Padahal, pertahanan abad ke-21 tidak lagi hanya tentang batas wilayah fisik, tetapi batas pikiran dan data.
Oleh karena itu, Indonesia harus segera membangun empat pilar pertahanan digital:
1. Keamanan siber nasional yang tidak hanya reaktif, tetapi juga prediktif dan adaptif.
2. Pertahanan berbasis AI, yang mampu mengenali, melawan, bahkan menetralkan disinformasi buatan.
3. Integrasi data nasional yang aman, mencegah manipulasi oleh aktor eksternal maupun internal.
4. Edukasi literasi digital, agar masyarakat tak mudah terpancing oleh narasi palsu yang viral.
Dalam konteks ini, Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) memiliki peran strategis. Unhan bukan hanya lembaga akademik, tapi juga pusat pembentukan perwira intelektual yang harus siap menghadapi perang generasi ke-6: perang algoritma dan kedaulatan digital.
Apa yang bisa dilakukan Unhan RI?
1. Mendirikan Pusat Studi AI dan Pertahanan Siber sebagai pusat unggulan nasional.
2. Mengembangkan kurikulum strategis tentang AI, Big Data, dan Geopolitik Digital.
3. Menyusun, mempublikasikan riset & policy brief tentang ASI sebagai ancaman non-konvensional.
4. Melatih kader perwira digital yang mampu menjadi garda depan di ruang siber.
5. Menjadi mitra strategis negara dalam membangun doktrin pertahanan digital Indonesia.
Kedaulatan digital adalah benteng terakhir peradaban bangsa. Tanpa itu, kita tidak hanya akan kalah tapi kita bisa punah. Indonesia tidak boleh menunggu hingga krisis untuk bertindak. Kita harus mulai hari ini, dari kampus, dari kebijakan, dan dari kesadaran bersama bahwa perang masa depan adalah perang pikiran dan data. Salah satu pemicu dari perang tersebut bisa saja dipicu dengan disinformasi atau bias atas sebuah fakta atau data.
Kecerdasan buatan didasarkan pada data yang digunakan untuk melatihnya. Data tersebut diciptakan oleh manusia sehingga berpotensi mengandung bias atau diskriminasi. Bias yang dapat terjadi di sini adalah bias sosial. Jika hal itu terjadi, maka AI akan mengambil keputusan atau rekomendasi yang bersifat tidak adil atau diskriminatif untuk beberapa pihak. Hal ini pernah diungkapkan oleh Profesor Ilmu Komputer dari Universitas Princeton, Olga Russakovsky. Bias AI yang terjadi tidak terbatas pada suku bangsa dan gender artinya meluas dan tanpa pandang batas sosial manapun.
Untuk itulah, langkah pencegahan harus dimulai agar bisa diantisipasi sedini mungkin. Perkembangan teknologi digital tidak dipungkiri, tetapi jika tidak diimbangin dengan kedewasaan dan kebajikan untuk menghadapi situasi tersebut, maka bahaya semakin mengancam kehidupan manusia. ***
Leave a Reply