
DEPOK, SP – Asosiasi BSF Indonesia (ABSF-I) menegaskan perlunya melahirkan cara pandang baru sangat penting bagi negara-negara tropika yang hingga sekarang belum satu pun bisa menjadi negara maju. Hal itu karena belum bisa memanfaatkan sifat iklim tropika sebagaimana telah dirintis melalui teknologi biokonversi menggunakan magot (larva black soldier fly/BSF). Guna tercipta ekonomi sirkular terkait biokonversi harus ditopang dengan kepemimpinan dan regulasi.
Demikian salah satu benang merah dalam diskusi refleksi 20 Tahun Biokonversi di Indonesia pada Sabtu (30/11/2024) di Aula Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRBIH KKP), Depok, Jawa Barat.
Kegiatan ABSF-I digelar Sabtu (30/11/2024) di Aula Balai Riset Budidaya Ikan Hias, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRBIH KKP), Depok, Jawa Barat. Diskusi tersebut menghadirkan Rosa Vivien Ratnawati (Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup), Mohamad Rahmat Mulianda (Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas), dan Priyanto Rohmattullah, SE, MA (Direktur Lingkungan Hidup Bappenas). Kemudian Bram Dortmans (Eclose GmbH), Chalid Muhammad (Ketua Dewan Sampah Indonesia) dan Markus Susanto (CEO PT Maggot Indonesia Lestari).
“Memasuki usia ke 20 tahun biokonversi, kehadirannya telah membawa dampak yang sangat signifikan baik terhadap lingkungan (degradasi food waste, reduksi emisi karbon), menghadirkan protein terbarukan menuju pangan mandiri, menghadirkan lapangan kerja dan industri baru dalam bingkai ekonomi sirkular,” kata Ketua Umum ABSF-I Prof Agus Pakpahan.
Dikatakan, teknologi biokonversi menggunakan magot telah menjadi inovasi yang makin populer di masyarakat Indonesia dan dunia saat ini. Mulai dari perannya sebagai sumber pakan (ikan dan ternak), mengatasi masalah lingkungan, perbaikan kualitas lahan pertanian hingga sumber ekonomi masyarakat.
Markus Susanto menambahkan dengan perjalanan selama ini maka untuk mengoptimalkan potensi biokoversi tersebut sangat diperlukan kepemimpinan dan regulasi. “Saat ini merupakan momentum yang sangat baik dan perlu kolaborasi semua pihak sehingga tantangan dan kendala selama ini perlahan mulai dibenahi,” ujarnya.
Sekjen ABSF-I Melta Rini menjelaskan kehadiran ABSF-I sebagai wadah koordinasi penggiat, akademisi, pemerintah, dan pengusaha menjadi katalisator pengembangan magot masa depan. ABSF-I merupakan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi dan fasilitasi usaha antara pihak ABSF-I dan pemerintah serta dunia usaha dalam rangka membentuk iklim usaha yang bersih, transparan dan profesional, serta mewujudkan sinergi seluruh potensi usaha di Indonesia.
Dikatakan, inovasi biokonversi lahir dari tantangan dan permasalahan terbesar pembudidaya ikan di Indonesia yaitu ketersediaan pakan dengan kualitas bagus dan harga terjangkau. 60-70% biaya produksi ikan dikeluarkan untuk pembelian pakan. Di sisi nutrisi “terbuang” sia-sia di alam dalam bentuk sisa organik makanan”, menjadi masalah lingkungan, penyebaran penyakit serta bau yang tidak mengenakan.
Sebagai informasi; Indonesia pada tahun 2023 menghasilkan 38.7 juta ton sampah secara nasional dengan timbulan 106,2 ribu ton/hari berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Khusus timbulan sampah organik makanan tercatat 15,4 juta ton per tahun atau setara dengan 42,2 ribu ton per hari.
Menurut hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama sejumlah lembaga, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebesar Rp 213 – 551 triliun/tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun. Secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun.[SP-03]
Leave a Reply