BP3OKP Dorong Pemilu 2024 Tidak Gunakan Sistem Noken

Perwakilan BP3OKP yang hadir dalam rapat koordinasi di Surabaya, Jawa Timur.

SURABAYA, SP – Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) mendorong sistem noken tidak lagi digunakan dalam Pemilu 2024. Seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Papua diharapkan menggunakan langsung hak suaranya (one man one vote).

Hal itu disampaikan Koordinator BP3OKP terpilih untuk Wilayah Papua Alberth Yoku di Surabaya, Selasa (12/9/2023). Alberth bersama pimpinan BP3OKP se-Papua hadir dalam rapat koordinasi Pemilu 2024 yang luber dan jurdil yang digelar Kantor Staf Presiden. Selain Alberth, ada juga Irene Manibuy selaku perwakilan BP3OKP Papua Barat dan Petrus Waine mewakili Provinsi Papua Tengah.

Dikatakan, dengan one man one vote maka terlaksana demokrasi yang sebenarnya di wilayah Papua. Proses ‘musyawarah mufakat’ tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat di kampung sebelum Pemilu,

“Namun pada saat hari pencoblosan, masing-masing rakyat yang memiliki hak memilih melaksanakan hak tersebut sesuai dengan azas-azas Pemilu yang benar,” kata Alberth dalam keterangannya.

Baca : Usaha Tani-Ternak Berbasis Kampung, Ini Pengalaman Fasilitator Bersama OAP

Seperti diketahui, sistem noken (tas anyaman) adalah suatu sistem dalam Pemilu khusus untuk beberapa wilayah di Papua. Ada dua cara dalam sistem noken, yakni noken big man dan noken gantung. Noken big man artinya seluruh suara diserahkan atau diwakilkan kepada ketua adat. Sedangkan pada noken gantung, warga dapat melihat kesepakatan dan ketetapan suara. Pemilu noken diinisiasi sebagai upaya untuk memungkinkan partisipasi masyarakat adat Papua yang belum terbiasa dengan proses pemungutan suara konvensional.

Dalam paparannya, Alberth menjelaskan sejumlah persoalan dan kendala dari sistem noken.
Salah satunya kejanggalan data pemilih. jumlah pemilih di dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk mencetak surat suara (untuk kemudian digunakan dalam Pemilu sistem noken) telah secara sistematis digelembungkan secara tidak masuk akal.

“Sering terjadi, jumlah total penduduk di suatu kabupaten/kota (sesuai BPS) malah lebih sedikit dari jumlah pemilih di DPT,” ujar Alberth yang pernah jadi Ketua Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Tanah Papua.

Sementara Petrus Waine mengatakan perlunya klusterisasi sesuai kebutuhan sehingga secara bertahap tidak menggunakan sistem noken. “Jadi perlu pendataan ulang dan klusterisasi sesuai kebutuhan. Setelah itu baru pemungutan suaranya disesuaikan dengan aturan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU),” ujar Petrus.

Dalam sejumlah Pemilu atau pemilihan kepala daerah (Pilkada), penggunaan sistem noken juga berpotensi telah menciptakan politik uang dan lingkaran kekerasan. Hampir tidak ada pilkada sistem noken yang tidak menimbulkan kekacauan, bahkan kerusuhan, di masyarakat.

Belum lama ini, KPU mengabarkan masih memperbolehkan kembali penggunaan sistem noken dalam pemungutan suara Pemilu 2024 di empat provinsi di Tanah Papua. Penerapan sistem ini berlandaskan pada putusan Mahkamah Konstitusi.

Rencana KPU memperbolehkan kembali penggunaan sistem noken termaktub dalam rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara (Tungsura) Pemilu. Dalam Pasal 110 disebutkan, sistem noken hanya diselenggarakan di kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, yang masih menggunakan sistem tersebut. [SP-03]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*