Jurus Kemenperin Jaga Daya Saing Produk Olahan Agro Tembus Ke Pasar Uni Eropa

Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika.

JAKARTA, SP – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong produk olahan industri dalam negeri dapat menembus pasar ekspor, seperti ke Uni Eropa. Oleh karena itu, Kemenperin fokus mendukung peningkatan daya saing produk hasil industri yang diekspor.

“Kami optimistis, posisi tawar Indonesia dengan Eropa harusnya sudah cukup bagus, termasuk yang telah dilakukan oleh industri pengolahan di sektor agro khususnya produk olahan sawit,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika di Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa untuk produk industri agro pada tahun 2021 mencapai USD6,04 juta, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya sebesar USD4,5 juta. Namun setelah disepakatinya EU Regulation on Deforestation-Free Supply oleh Komisi Eropa, Dewan Eropa dan Parlemen Eropa, pemerintah perlu melakukan antisipasi agar produk industri agro asal Indonesia bisa kompetitif.

Dirjen Industri Agro menegaskan, mengenai revolusi pengolahan sawit di dalam negeri, Kemenperin telah memiliki unit kerja yang menangani industri hijau sehingga dapat mendorong implementasi kebijakan green industry.

“Dalam waktu dekat, akan diperkenalkan teknologi baru ekstraksi minyak sawit tanpa uap (Steamless Palm Oil Treatment), sehingga emisi CO2 dapat berkurang jauh,” ungkapnya. Teknologi ini akan berdampak pada lokasi pabrik yang sudah tidak perlu lagi dekat dengan sungai. Jadi bisa berlokasi di perkebunan sehingga lebih efisien.

“Tidak perlu bleaching, melainkan menggunakan teknologi pasteurisasi, sehingga nutrisi (betacarotene, provitamine A) masih tetap terjaga dan tidak perlu difortifikasi,” imbuhnya.

Putu juga menyampaikan bahwa produk turunan kakao dan kopi sejatinya dapat memenuhi ketentuan di pasar Uni Eropa. “Produk olahan kakao 70%-nya kita ekspor dan sudah memiliki beragam sertifikasi internasional seperti sertifikasi bukan berasal dari lahan deforestasi, sertifikat fair trade, dan lain-lain,” sebutnya. Sedangkan untuk produk kopi, saat ini sudah terdapat 39 indikasi geografis di Indonesia yang menjadi keunggulan tersendiri memasuki pasar Uni Eropa.

Oleh karena itu, menurut Putu, kolaborasi antara produsen dan operator industri agar memenuhi persyaratan ekspor ke pasar Uni Eropa. “Diperlukan kesepakatan mengenai how to pay atau beban biaya terkait data work tersebut,” tandasnya.

Saat melakukan pertemuan dengan Dirjen Industri agro, Duta Besar Indonesia untuk Belgia dan Luksemburg, Andri Hadi menjelaskan bahwa kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply tersebut adalah untuk meminimalisir konsumsi produk yang berasal dari supply chain yang berasal dari deforestasi ataupun degradasi lahan.

“Tidak bisa dihindari lagi bahwa Indonesia perlu membenahi sistem pengolahan di dalam negeri agar tetap mengadopsi sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Andri. Artinya, produsen Indonesia perlu melakukan diversifikasi tujuan ekspor ke negara lain yang memiliki persyaratan lebih mudah. “Jika ingin tetap ekspor ke Uni Eropa maka industri perlu memenuhi ketentuan regulasi Deforestasi Uni Eropa,” lanjutnya.
Ada tujuh komoditas yang terdampak EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain, yakni palm oil, beef, kedelai, kakao, kopi, kayu, dan karet serta turunannya. Menurut kebijakan tersebut, poduk komoditas yang tercakup dalam regulasi hanya boleh dimasukkan atau diekspor dari pasar Uni Eropa jika telah memenuhi tiga aspek, yaitu bebas deforestasi, diproduksi sesuai legislasi yang berlaku di negara produksi, serta dilengkapi dengan pernyataan uji tuntas (due diligence statement).

“Sejak tanggal 31 Desember 2020, hanya produk yang dihasilkan dari lahan bebas deforestasi ataupun degradasi lahan yang boleh masuk atau keluar dari Uni Eropa,” ungkap Andri. Mengikuti defenisi FAO, yang dimaksud dengan deforestasi merupakan perubahan struktural terhadap hutan berupa konversi lahan dari naturally generating dan primary forest menjadi hutan perkebunan.

Sedangkan due diligence mencakup traceability produk sampai dengan plot lahan produk tersebut berasal, menggunakan informasi geografis yang akurat. Operator di Uni Eropa wajib menunjukkan dokumen dan data yang relevan bahwa produk tersebut bebas deforestasi, sedangkan operator kecil (UMKM) dimungkinkan menumpang kepada operator besar untuk deklarasi due diligence tersebut.

“Bahwa prosedur due diligence wajib dalam EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain ini mencakup tiga elemen, yakni information requirements, risk assessment, dan risk mitigation measures, dilengkapi kewajiban pelaporan,” tutur Andri.

Menurutnya, industri yang paling berdampak oleh kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain adalah produk sawit mengingat minyak kelapa sawit merupakan produk unggulan Indonesia yang paling berkelanjutan dan tersertifikasi (ISPO, RSPO). “Pemberlakuan kebijakan EU Regulation on Deforestation-Free Supply Chain ini pada dasarnya menambah beban administrasi bagi eksportir dalam melakukan kegiatan ekspor,” imbuhnya. [EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*