Vonis Enteng dalam Perkara Minyak Goreng

Tiga orang terdakwa kasus dugaan korupsi persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) dan turunannya yaitu mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana (ketiga dari kiri), Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kedua dari kanan), dan Pierre Togar Sitanggang selaku General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas (kanan) menunggu dimulainya sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Rabu (21/12/2022). ANTARA/Desca Lidya Natalia.

Oleh: Desca Lidya Natalia

MAJELIS HAKIM Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada lima orang terdakwa kasus korupsi persetujuan ekspor (PE) crude palm oil (CPO) atau minyak goreng beserta turunannya di Kementerian Perdagangan pada 4 Januari 2023.

Vonis terhadap lima terdakwa tersebut jauh lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.

Kelima terdakwa, disebut hakim telah terbukti melakukan dakwaan kedua, yaitu Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan dakwaan primer tak terbukti.

Pertama, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Hal tersebut lebih ringan dibanding tuntutan JPU yaitu 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Kedua, bekas Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga penasihat kebijakan/analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei divonis 1 (satu) tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta dan subsider 2 bulan.
Putusan itu juga jauh di bawah tuntutan JPU yang meminta Lin Che Wei agar divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Ketiga, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan, tanpa penjatuhan uang pengganti.

Padahal JPU menuntut Pierre Togar untuk dipenjara selama 11 tahun penjara ditambah pidana denda sebanyak Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 4,5 triliun atau tepatnya Rp 4.544.711.650.438 subsider 5,5 tahun penjara.

Keempat, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley Ma divonis 1 (satu) tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan, juga tanpa kewajiban membayar uang pengganti.
Sebelumnya JPU Kejaksaan Agung menuntut Stanley Ma untuk divonis selama 10 tahun penjara ditambah pidana denda Rp 1 miliar dan subsider 6 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp868,7 miliar atau tepatnya Rp 868.720.484.367,26 subsider 5 tahun penjara.

Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor divonis 1,5 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta, subsider dua bulan. Sedangkan JPU menuntut Master Parulian untuk divonis 12 tahun penjara ditambah pidana denda sebanyak Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 10,98 triliun atau tepatnya Rp 10.980.601.063.037 subsider 6 tahun penjara.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin oleh hakim Liliek Prisbawono Adi tersebut menilai kelima terdakwa tidak terbukti menguntungkan diri sendiri. Uangnya juga tak terbukti dinikmati oleh kelima terdakwa sehingga uang pengganti tidak perlu dijatuhkan.

Namun, perbuatan kelima terdakwa dinilai terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan, yaitu pertama perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar alam Permai, PT Multimas Nabati Sulawesi, dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia seluruhnya sejumlah Rp 1,69 triliun atau tepatnya Rp 1.693.219.882.064.

Kedua, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas, yaitu PT Musim Mas, PT Musim Mas-Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT Agro Makmur Raya, PT Megasurya Mas, dan PT Wira Inno Mas, yang seluruhnya sejumlah Rp626,6 miliar atau tepatnya Rp626.630.516.604.

Ketiga, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Permata Hijau yaitu dari PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Pelita Agung Agrindustri seluruhnya sejumlah Rp 124,4 miliar atau Rp 124.418.318.216.

Caran kelima terdakwa menguntungkan perusahaan-perusahaan tersebut adalah dengan mengondisikan perusahaan mendapat izin PE CPO dari Kementerian Perdagangan.

Setelah mendapatkan izin PE CPO, perusahaan-perusahaan itu tidak memenuhi kewajiban domestic market obligation (DMO) sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan yaitu memasok kebutuhan dalam negeri sejumlah 20 persen dari total ekspor CPO atau RDB Palm Olein.

Dengan demikian terjadi kerugian negara sebesar Rp 2,95 triliun atau tepatnya Rp 2.952.526.912.294,45 yang merupakan beban kerugian yang ditanggung pemerintah dari diterbitkannya PE atas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar (Rp 1.658.195.109.817,11), Grup Permata Hijau (Rp 186.430.960.865,26), dan Grup Musim Mas (Rp 1.107.900.841.612,08) sebagaimana tertuang dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor pe.03/SR-511/03/01/2022 tanggal 18 Juli 2022.

“Terhadap unsur perbuatan merugikan negara telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa” kata hakim.

Artinya, majelis hakim tidak setuju dengan tuntutan JPU Kejaksaan Agung yang menyatakan kelima terdakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 6 triliun atau tepatnya Rp 6.047.645.700.000 sekaligus merugikan perekonomian negara seluruhnya sebesar Rp 10.960.141.557.673.

Kerugian perekonomian negara itu disebut jaksa berdasarkan Laporan Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada pada tanggal 15 Juli 2022 yang mengungkapkan terdapat kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng seluruhnya sebesar Rp 10.960.141.557.673.
Kerugian ini terdiri atas kerugian rumah tangga sebesar Rp1.351.911.733.986 dan kerugian dunia usaha Rp9.608.229.823.687.

Hakim menyebut perhitungan FEB UGM itu tidak dapat dijadikan dasar atas dakwaan, sebab hanya merupakan asumsi, bukan riil terjadi dan tidak bisa dibuktikan.

“Menimbang bahwa untuk membuktikan adanya unsur kerugian negara tidaklah terlalu sulit karena apa yang dimaksud merugikan keuangan negara sudah jelas aturan hukumnya, tapi sebaliknya untuk membuktikan adanya unsur kerugian perekonomian negara masih terdapat kesulitan karena ruang lingkup terlalu luas dan belum ada metode yang mengatur perekonomian negara sebagaimana keterangan ahli dari terdakwa,” ungkap hakim.

Hakim mengatakan perhitungan kerugian perekonomian negara sebesar Rp 10.960.141.557.673 masih bersifat asumsi belum bersifat riil atau nyata.

“Padahal sesuai dengan putusan MK No 25/ppu/XIV/2016 tanggal 25 Januari 2016, kerugian negara atau perekonomian negara haruslah nyata atau actual loss bukan lagi sebagai perkiraan atau potential loss atau asumsi. Menimbang berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perhitungan kerugian perekonomian negara yang dihasilkan oleh Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara ini sehingga oleh karenanya unsur merugikan perekonomian negara tidak terpenuhi pada perbuatan terdakwa,” jelas hakim.

Lin Che Wei

Dalam persidangan, seorang anggota Majelis Hakim bahkan menyatakan perbedaan pandangan atau dissenting opinion. Hakim ad hoc Muhammad Agus Salim menilai tidak ada perbuatan korupsi dalam perbuatan Lin Che Wei dengan alasan-asalan sebagai berikut:

Pertama, fakta hukum fakta persidangan menunjukkan terdakwa Lin Che Wei (LCW) tak pernah melakukan pengurusan persetujuan ekspor (PE) dan tidak pernah memiliki perjanjian kerja sama dengan pelaku pihak usaha mana pun berkaitan dengan pengurusan atau penerbitan PE.

Kedua, Lin Che Wei tidak memperoleh keuntungan pribadi atas peran dalam menangani masalah kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng.

Ketiga, Lin Che Wei tidak terbukti menggunakan jabatannya sebagai Tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam menentukan PE dengan memberikan reokomemdasi PE CPO dan produk turunannya.

Keempat, pada umumnya perbuatan Lin Che Wei dilakukan setelah ada permintaan dari Menteri Perdagangan saat itu M Lutfi. Kalaupun pernah menginisiasi pertemuan daring via aplikasi Zoom Meeting dengan pelaku usaha karena merupakan permintaan Mendag M. Lutfi tentang komitmen dengan pelaku usaha.

Zoom Meeting tersebut juga dilakukan secara terbuka, tidak ada yang ditutupi. Kalaupun ada permintaan dari pelaku usaha untuk disampaikan kepada pejabat terkait seperti kepada Mendag atau ke Dirjen Daglu, maka Mendag dan Dirjen Daglu sendirilah yang secara langsung meresponsnya.

Kelima, Lin Che Wei diikutkan dalam pembahasan kelangkaan minyak goreng sebatas menyampaikan kajian analisis dan saran terhadap solusi kelangkaan minyak goreng sehingga tidak mengikat dan tidak final untuk dilaksanakan. Pihak yang berwenang dalam menentukan PE sesuai sistem Inatrip adalah Indrasari W. Wardana selaku Dirjen Daglu Kemendag.

Keenam, usulan Lin Che Wei terkait DMO berjumlah kurang dari 20 persen, tidak mempunyai daya mengikat dan executable, maka rekomendasi itu tidak mengandung kesalahan dan tidak mengandung perbuatan melawan hukum baik formil maupun materiil.

Ketujuh, Lin Che Wei bukan pejabat yang memiliki kekuasaan umum dan tidak menerima honor dan insentif dari pemerintah, maka tidak tepat disamakan derajatnya dengan pejabat negara yang memiliki wewenang. Maka perbuatan Lin Che Wei tidak mempunyai kualifikasi sebagai perbuatan yang mengandung kesalahan.

Kedelapan, peran Lin Che Wei tidak dapat dikualifikasi sebagai pelaku turut serta vide Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena peran Lin Che Wei sudah ada perbuatan yang sudah terjadi sebagai tindak pidana yang dilakukan pihak lain yaitu Indra Sari Wisnu Wardhana selaku Dirjen Daglu dan kawan-kawan sehingga Lin Che Wei bukan pelaku turut serta sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Terkait mantan Menteri Perdagangan M. Lutfi, namanya disebutkan berulang kali dalam dakwaan yaitu bersama dengan Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim Kemendag melakukan rapat untuk membahas skenario untuk melakukan stabilisasi harga dan ketersediaan stok minyak goreng. Lutfi juga dipanggil beberapa kali dalam persidangan, namun ia tidak pernah memenuhi panggilan karena berada di luar negeri.

Penasihat hukum Lin Che Wei, Maqdir Ismail, menyebut kliennya hanya membantu Mendag M. Lutfi untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng.
“Tidak ada kerugian negara karena perbuatan Lin Chei yang menjadi mitra diskusi Menteri Perdagangan M Lutif,” kata Maqdir.

Ajukan Banding

Kejaksaan Agung lantas langsung mengajukan banding terhadap putusan lima orang terdakwa tersebut. “Atas putusan majelis hakim tersebut, penuntut umum melakukan upaya hukum banding, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Ketut Sumedana pada 5 Januari 2023.

Menurut Ketut, upaya banding yang dilakukan karena keputusan tersebut tidak sesuai dengan tuntutan jaksa dan tidak terpenuhinya rasa keadilan. Masyarakat juga merasakan dampak cukup besar sehingga pemerintah mengeluarkan anggaran triliunan rupiah untuk bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng guna membantu masyarakat terdampak.

“Terutama kerugian yang diderita masyarakat yakni perekonomian negara dan termasuk kerugian negara,” ungkap Ketut.

Adanya kelangkaan minyak goreng, di saat Indonesia sebagai produsen CPO terbesar, menjadi catatan khusus kejaksaan untuk mengusut kasus tersebut karena melibatkan masyarakat banyak yang terdampak.

Meski vonis belum inkracht (berkekuatan hukum tetap), publik sudah melihat adanya ketimpangan antara tuntutan jaksa penuntut umum dengan vonis majelis hakim dalam perkara dugaan korupsi minyak goreng tersebut. [Ant/EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*