JAKARTA, SP – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pada konteks ketenagakerjaan, Perpu ini merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberikan pelindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengatakan, substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” kata Menaker melalui Siaran Pers Biro Humas Kemnaker, Rabu (4/1/2023).
Adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perpu ini antara lain, pertama, ketentuan alih daya (outsourcing). Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perppu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui Peraturan Pemerintah,” kata Menaker.
Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam PP.
Pada Perppu ini ditegaskan gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi. Gubernur juga dapat menetapkan UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi dari pada UMP.
“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam Perpu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” kata Menaker.
Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menaker menjelaskan, perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut Pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” tegas Menaker.
Pekerja Minta Cabut
Sementara Sekjen Organisasi Pekerja Indonesia, Timboel Siregar meminta pemerinta agar Perppu Cipta Kerja ditarik kembali, sebab merugikan pekerja dan buruh.
Ia mengatakan, Pasal 84 UU 13 tahun 2003 berbunyi: Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh.
Di UU Cipta Kerja Pasal 79 ayat 2 hanya memuat huruf “a” dan “b”. Ini mengubah Pasal 79 di UU 13 tahun 2003 yang ayat 2-nya memuat huruf “a”, “b”, “c”, dan “d”.
Namun Pasal 84 UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak diubah di UU Cipta Kerja, masih menyebut Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d.
Membaca Pasal 84 di UU 13 Tahun 2003 tidak nyambung dengan Pasal 79 ayat 2 UU Cipta Kerja. Kesalahan ini diperbaiki di Perppu no. 2 tahun 2022.
Demikian juga tentang istilah Penyandang Cacat di UU 13 Tahun 2003 tidak diubah di UU Cipta Kerja, padahal UU No. 8 Tahun 2016 sudah menyebut Penyandang Disabilitas. Seharusnya judul di Paragraf 1 pada BAB X dan Pasal 67 di UU 13 Tahun 2003 diubah di UU Cipta Kerja dengan menyebut Penyandang Disabilitas.
Hal ini tidak disadari pada saat membuat UU Cipta Kerja, dan baru disadari di Perppu no. 2 dengan mengakomodir kata Penyandang Diabilitas, dengan merevisi Pasal 67 dan judul di BAB X UU No. 13.
Terpikir oleh saya, ternyata kehadiran Perppu menjadi sarana untuk memperbaiki kesalahan dalam beberapa pasal di UU Cipta Kerja yang tidak nyambung dan tidak singkron dengan UU lainnya. Alasan kegentiangan yang memaksa tidak ada, hanya digunakan untuk menihilkan putusan MK dan sekaligus memperbaiki kesalahan substansial di UU Cipta Kerja.
Inilah dampak serius ketika UU Cipta Kerja dibuat dengan terburu-buru, dan tidak melibatkan masyarakat. Dan ini pun membuktikan kualitas Pemerintah dan DPR, sebagai pembuat UU Cipta Kerja, sangat rendah.
“Perppu memicu polemik. Daripada menimbulkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah terkait Perppu No.2, sebaiknya Pemerintah menarik Perppunya dan menindaklanjuti Putusan MK dengan mengajak masyarakat memperbaiki UU Cipta Kerja. Ini lebih elegan,” kata dia. [EH]
Leave a Reply