Sukarno dan Islam: Tanggapan untuk Gus Baha

Syaiful Arif.

DI SEBUAH video yang viral, KH Bahaudin Nursalim atau terkenal dengan Gus Baha membahas sejarah pergerakan nasional, terutama tentang kaum nasionalis dan Islam. Dinyatakan bahwa pergerakan nasional dimulai dari gerakan Islam, yakni Sarekat Islam yang berdiri pada 1912.

Secara implisit beliau ingin menyanggah bahwa pergerakan nasional dan pendirian Negara Indonesia tidak dimulai dari gerakan kaum nasionalis. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tokohnya Sukarno.

Tulisan ini ingin menanggapi pembahasan Gus Baha tersebut, dari perspektif seorang santri yang selama ini mendalami kajian sejarah dan Pancasila. Saya sendiri seorang santri Nahdlatul Ulama (NU) tulen. Alumni Pesantren Ciganjur asuhan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahkan terhitung sebagai santri pertama sejak tahun 2003 hingga beliau wafat pada 2009. Artinya, perspektif dan nilai-nilai yang dimuliakan antara saya dan Gus Baha sama. Bahkan telah lama saya ikut “ngaji virtual” pengajian Gus Baha, dan dalam hal ruhaniyah, saya mendaulat beliau sebagai Guru.

Tentang pemikiran Gus Baha di video tersebut, saya juga sepakat. Beliau menganjurkan agar kebesaran Sukarno tidak dibatasi oleh partai politik, dalam hal ini PDI Perjuangan. Tentu semua orang sepakat, termasuk kalangan PDI Perjuangan sendiri. Sukarno adalah pendiri negara, pioneer bagi kemerdekaan bangsa, dan terutama penggali dasar negara: Pancasila. Mengapa kebesaran pendiri negara seolah dibatasi hanya di lingkaran partai dan kelompoknya semata? Pertanyaan ini semestinya kita ajukan kepada negara! Mengapa negara tidak menempatkan Sukarno, juga para pendiri negara yang lain seperti Bung Hatta, Soepomo, termasuk KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusomo, Radjiman Wediodiningrat, dll sebagai negarawan yang kebesarannya diletakkan dalam kebesaran negara dan bangsa?

Mengapa pidato Sukarno pada 1 Juni 1945 yang secara resmi ditetapkan oleh BPUPKI sebagai bahan utama perumusan dasar negara oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, tidak diakui sebagai “milik negara dan bangsa”, tetapi lebih sering dicurigai sebagai milik kaum nasionalis, bahkan sekadar milik PDI Perjuangan? Ini berarti, negara belum melaksanakan tugasnya untuk meletakkan fakta sebagai fakta, dan menghormati para pendiri negara sebagai pendiri negara, bukan hanya sebagai patron dari kelompok tertentu.

Jika soal kebesaran Sukarno yang lebih besar dari kelompok tertentu, saya sepakat. Namun ada satu premis yang diajukan Gus Baha dalam ceramahnya tersebut, yang saya tidak sepakat.

Beliau menyatakan bahwa pergerakan nasional dimulai dari gerakan Islam, yakni Sarekat Islam. Itu bisa dipahami. Sayang sebagai tokoh NU, Gus Baha justru tidak menyebut gerakan tokoh NU, yakni KH Wahab Hasbullah, yang di tahun 1916 telah membangun “Sekolah Kebangsaan” (Nahdlatul Wathon), sebagai pendidikan kebangsaan untuk santri yang menjadi embrio NU. Dengan mengajukan SI, Gus Baha lalu meniadakan peran Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno.

Fakta sejarah yang dilupakan Gus Baha adalah, bahwa Sukarno yang nasionalis itu, justru “alumni” Sarekat Islam, dan murid dari HOS Cokroaminoto. Sebelum ke Bandung pada tahun 1920-an dan menemukan ideologi nasionalisme dari Tiga Serangkai (Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker), Sukarno “mondok” di rumah Cokroaminoto di Surabaya sejak tahun 1916-1921.

Rumah Pak Cokro adalah markas besar SI. Di bawah gemblengan Cokroaminoto, Sukarno remaja (umur 15-20 tahun) mengenal ideologi politik pertamanya, yakni sosialisme Islam. Maka ideologi awal Sukarno ya Islam.

Itu tergambar dalam esai-esai awalnya di surat kabar terbitan SI, yakni Oetoesan Hindia, dimana Sukarno remaja sering menulis dengan menggunakan nama samaran “Bima”. Salah satu kutipan esainya berbunyi begini: “Hancurkan segera kapitalisme yang dibantu oleh budaknya, imperialisme. Dengan kekuatan Islam, insya Allah itu segera dilaksanakan!” (Bernhard Dahm, 1969: 30)

Dengan demikian, SI dan PNI memang bisa dibedakan. Namun pendiri PNI adalah tokoh didikan terbaik SI dan HOS Cokroaminoto. Itulah mengapa sebelum Sukarno mendirikan PNI, Pak Cokro pernah meminta Sukarno menjadi Ketua SI.

Nasionalisme sendiri digagas Sukarno bukan sebagai ideologi yang terpisah dari ideologi lain. Sebab, mengapa ia mengusung nasionalisme? Karena ideologi ini merupakan ideologi yang sangat terobsesi untuk menyatukan semua ideologi. Itulah mengapa setelah mendirikan PNI, Sukarno lalu membentuk Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), sebuah organisasi yang memayungi semua gerakan nasional, sejak PNI, SI sendiri, Budi Utomo, Sarekat Sumatera, dll.

Di tangan Sukarno, nasionalisme menjadi “titik temu” antara nasionalisme, Islam dan sosialisme. Mengapa Sukarno berhasrat ingin menciptakan “titik temu”? Karena ketiga ideologi itu ada di dalam dirinya. Sukarno bukan hanya nasionalis, tetapi juga Islamis dan sosialis pada saat bersamaan.

Kesatuan dari nilai dan ideologi-ideologi itu tertanam dalam gagasannya, Pancasila, dimana selain nasionalisme, humanitarianisme, demokrasi dan sosialisme; Sukarno juga menetapkan sila Ketuhanan YME sebagai bagian dari Pancasila. Dalam pidato 1 Juni 1945, ia menggunakan kalimat: “prinsip Indonesia merdeka adalah bertakwa kepada Tuhan YME”. Prinsip KETAKWAAN! Prinsip ini tidak akan lahir dari seseorang yang tidak menghayati ketakwaan dalam kehidupan kesehariannya.

Peran penting Sarekat Islam juga Sukarno tegaskan sebagai sumber dari nilai-nilai Pancasila. Hal ini disampaikan Presiden Sukarno dalam pertemuan dengan pegawai Kementerian Penerangan pada 28 Maret 1952. Ia menyatakan, “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarekat Islam yang dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto..” (Hamka, 1951:38). Di sini Sukarno ternyata punya pandangan yang sama dengan Gus Baha, bahwa SI punya peran penting dalam perjuangan bangsa.

Dengan demikian, menempatkan Islam dan nasionalisme secara terpisah, tentu bertentangan dengan sejarahnya. Gus Baha juga menegaskan hal ini dalam tataran nilai, namun memisahkannya dalam penjelasan sejarah. Kesatuan nilai, ideologi dan pergerakan antara Islam dan nasionalisme terpatri dengan bagus di diri Sukarno. Kesatuan itu lalu tertanam dengan kuat dalam Pancasila.

Oleh karenanya, dengan segala hormat, saya sebagai santri Gus Baha, memohon agar panutan kita tidak menyebarkan pandangan yang memecah belah. Memang forum ceramah Gus Baha di video itu untuk internal santri. Tujuannya memberikan semangat pada santri, bahwa Islam lebih dahulu berkibar melawan penjajah. Bahwa Islam dan santri jauh lebih tua dari Sukarnoisme. Namun justru yang Gus Baha maksud dengan Sukarnoisme itu adalah pemikiran yang tidak memecah belah, yang sejak awal “gandrung dengan persatuan”. Sukarnoisme adalah salah satu “mazhab pemikiran” terbaik yang terbentuk dari sintesa (menerima dan memberi) antara Islam, nasionalisme dan sosialisme.

Alangkah lebih bijak jika Gus Baha lebih arif, sebagaimana kebijaksanaan beliau dalam soal ilmu-ilmu agama, untuk mengajak santri tetap bersatu dengan kelompok apapun, karena fakta sejarah menyatakan, bangsa Indonesia lahir bukan dari pertikaian, namun dari kerelaan hati untuk mengorbankan perbedaan primordial demi terbangunnya persatuan bangsa. Wallahu a’lam. [Oleh Syaiful Arif, Santri NU, Pengkaji Pancasila].

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*