Banyak Kejanggalan, Korban Mafia Tanah dan Mafia Hukum Melapor ke Komisi III DPR

Jakarta, SP – Mafia tanah dan mafia hukum masih marak sehinggga harus diberantas. Dalam sebuah kasus hukum di Jakarta Pusat, tudingan sejak awal kepada korban tidak terbukti. Ironisnya, dakwaan yang dikenakan pada tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tingi juga sangat jauh berbeda. Komisi III DPR diharapkan bisa menelusuri praktik kejahatan tersistematis dari para mafia tanah yang bersinergi dengan mafia dari aparat penegak hukum.
Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia di Jakarta, Sabtu (30/4/2022) memberi catatan khusus soal mafia hukum dan mafia tanah tersebut. Aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) yang diduga terkait perlu diperiksa. Proses hukum harus didukung dengan sejumlah bukti yang dipertanggungjawabkan agar prinsip keadilan dan kebenaran terungkap.
“Sebagai lembaga pelayanan hukum dan advokasi kami sudah menyurati sejumlah pihak agar kasus-kasus seperti ini dibongkar, termasuk Komisi III DPR RI. Vonis hukum berpihak pada mafia yang punya kuasa dan uang,” tegas Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia Gabriel Goa, Sabtu (30/9/2022).
Penegasan tersebut menanggapi klarifikasi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana di sejumlah media terkait kriminalisasi dan mafia hukum terkait kasus tanah di kawasan Bungur, Jakarta Pusat.
Ketut Sumedana, pada Selasa (22/3), menyampaikan beberapa hal terkait pemberitaan media bahwa korban laporkan jaksa ke Kejagung dan Komisi III DPR RI. Klarifikasi dimuat dalam laman resmi kejaksaan.go.id dan sejumlah media online terkait kasus di Jalan Bungur Besar Raya Nomor 54 Kecamatan Bungur Jakarta Pusat. Adapun korban yang dikriminalisasi atas kejadian pada awal Februari 2021 itu diantaranya Devid dan Effendi.
“Dugaan terjadinya kriminalisasi hukum dan kriminalisasi HAM terhadap terpidana Devid dan terpidana Effendi adalah tidak benar karena penanganan perkara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Kapuspenkum.
Selanjutnya, kata Ketut, terkait dugaan JPU tidak melaksanakan restorative justice juga tidak benar karena beberapa hal. Diantaranya, tidak ada perdamaian dalam tingkat penyidikan dan pada tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) serta perkara splitsing atas nama terpidana M dan terpidana AS, dkk telah terlebih dahulu disidangkan. Kemudian. terpidana Devid dan Effendi merupakan pelaku utama (dader) yang mengajak terpidana M dan AS,dkk (mededader) untuk melakukan perbuatan yang didakwakan.
Padma dan Kompak menepis klarifikasi Kejagung tersebut. Informasi dan bukti dari para korban menyebutkan sudah ada kesepakatan (perdamaian) dan pencabutan laporan dilakukan di Polres Metro Jakarta Pusat saat penyelidikan. Bahkan pelapor sendiri datang ke kejaksaan meminta kasus ini dihentikan karena bukan Devid dan Effendi yang dilaporkan.
Soal penyebutan sebagai pelaku utama (dader) juga dibantah sesuai pasal 335 ayat 1 KUHP. Fakta persidangan juga menyebutkan saat kejadian tidak terlihat terdakwa dan mereka tidak dilaporkan. Kejanggalan lain adalah pelaku utama yang dilaporkan oleh pelapor malah tidak dieksekusi. Demikian juga korban lain (MY) sudah divonis 5 bulan tapi hanya disebutkan 4 bulan 15 hari.
“Sejak awal ditahan kami dituding mafia tanah oleh jajaran Polres Jakarta Pusat, tapi bukti dan dakwaannya tidak ada. Ini seolah-olah ada pesanan agar Devid dan Effendi harus ditahan,” ujar korban.
Sebelumnya, mewakili korban Devid dan Effendi, Padma Indonesia melaporkan ke berbagai pihak, seperti Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung. Korban juga melapor ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Komisi III DPR RI terkait kriminalisasi hukum dan diskriminasi hak asasi manusia (HAM). Komisi Kejaksaan sudah memberikan tanggapannya.
Secara khusus, korban juga mempertanyakan dakwaan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan pasal 114 ayat (2) UU Narkotika yang sudah diumumkan ke publik. Penerapan pasal tersebut keliru dan menyalahi Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP. “Unik juga ya, dakwaan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berbeda jauh, apakah ini ketidaksengajaan atau memang indikasi ada mafia hukum,” ujar Gabriel. [PR/SP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*