SA Institut: Penundaan Pemilu Sulit Ditempuh

Yusril Mahendara.

JAKARTA, SP – Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra memberikan tiga opsi untuk menunda Pemilu. Pertama, Amandemen UUD 45; kedua, Presiden mengeluarkan Dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner.

Dan ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

Direktur Solulis dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai bahwa tiga langkah tersebut akan sulit untuk ditempuh. Untuk melakukan amandemen, Suparji menegaskan bahwa UUD mengamanahkan harus diajukan 1/3 anggota MPR.

“Dan sidang MPR harus dihadiri 2/3 anggota MPR, serta alasan perubahannya harus kuat dan jelas. Selain itu, amandemen harus disetuji 50% + 1 anggota MPR,” katanya dalam keterangan persnya.

Untuk mengeluarkan Dekrit, Presiden memang memungkinkan. Namun, mengeluarkan dekrit tak hanya mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis dan sosiologis tapi juga politis.

“Perlu ada keberanian dari Presiden Jokowi untuk mengeluarkan dekrit. Karena jika tidak mampu memberikan dalil yang kuat, dekrit justru akan berbalik pada dirinya sendiri,” tuturnya.

Untuk langkah ketiga, langkah ini juga dianggap Suparji cukup ekstrem. Konvensi ketatanegaraan merupakan tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, yang dilakukan dalam menyelenggarakan aktivitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara dan belum diatur dalam konstitusi.

“Konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain preseden yang timbul beebrapa kali. Lalu preseden yang timbul karena sebab secara umum dapat diterima dan ketiga preseden itu karena kondisi politik yang ada. Konvensi ketatanegaraan tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa legitimasi jelas,” ucapnya.

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, Suparji berkesimpulan penundaan pemilu akan sulit dilakukan. Memang, yang paling memungkinkan adalah amandemen 1945. Hal ini dikarenakan mayoritas partai adalah pendukung presiden.

“Namun tak dapat dipungkiri bahwa sebuah aturan harus mendapat legitimasi di tengah masyarakat. Jika dipaksakan bisa terjadi pro dan kontra melebihi penolakan terhadap UU Cipta Kerja dan RUU KUHP. Ini harus dipertimbangkan secara matang,” pungkasnya. [SP/EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*