Ada Kejanggalan, Korban Kriminalisasi Mafia Tanah Pernah Mengadu Ke Komnas HAM

Jakarta, SP – Korban kriminalisasi kasus tanah di Jakarta pernah mengajukan permohonan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hal itu untuk menjamin hak asasi para korban yang sejak awal dituding sebagai mafia tanah. Apalagi ada beberapa kejanggalan sehingga belum bisa membuktikan mafia tanah yang sesungguhnya.

Devid dan Effendi adalah korban kriminalisasi yang dituding sebagai mafia tanah di kawasan Bungur, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Maret 2021 lalu. Tuduhan sepihak oleh Polres Metro Jakarta Pusat yang didukung Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat itu tidak mempunyai dasar hukum dan tidak pernah ditunjukkan barang bukti dalam persidangan.

Kuasa hukumnya, Junior Gregorius mengatakan selama persidangan tidak pernah ditunjukkan barang bukti yang menyatakan kliennya sebagai mafia tanah. “Tudingan mafia tanah sepertinya kurang tepat. Ini sangat merugikan klien kami,” ujar Junior dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (27/2/2022).

Dikatakan, banyak kejanggalan sejak awal penahanan oleh polisi hingga proses persidangan di PN Jakarta Pusat. Untuk itulah, para korban kriminalisasi sudah mengajukan permohoan kepada sejumlah lembaga, salah satunya Komnas HAM. Pengajuan itu disampaikan pada 17 Maret 2021 atau hanya beberapa hari setelah adanya tudingan mafia tanah.

Seperti diketahui, Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi mengatakan telah mengamankan sejumlah tersangka dalam kasus penguasaan tanah di Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat. Adapun lahan yang disengketakan sebenarnya milik dari Induk Koperasi Kopra Indonesia dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No.567 atas nama JAJASAN KOPRA. Sebelum menahan Devid dan Effendi, Polres Jakarta Pusat menangkap delapan orang preman berinisial HK, EG, RK, MH, YB, WH, AS, dan LR yang diduga menguasai lahan itu, serta AD yang merupakan oknum pengacara.

“Usai pengembangan, tersangka yang diamankan sesudahnya adalah MY, D dan E,” kata Hengki dalam keterangan di Jakarta, Kamis, (8/4/2021).

Sejak awal, korban berusaha meluruskan ketikadilan dalam kasus itu karena mendapat kuasa dari pemilik tanah yang sah dan berhadapan dengan pihak yang diduga menjadi mafia tanah. Lebih ironis, lanjut Junior, dakwaannya Pasal 335 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang tidak ada kaitannya dengan tudingan mafia tanah. Setelah vonis 4 bulan dari PN Jakarta Pusat pun tidak pernah menunjukkan bukti-bukti pendukung dalam persidangan.

Kejanggalan lain, pihak yang melaporkan kasus itu justru sudah mencabut laporannya ke Polres Jakpus pada 10 Mei 2021 karena tidak ada kaitannya dengan korban kriminalisasi. Sejumlah kejanggalan itu menguatkan adanya ‘tekanan’ dari pihak tertentu dan terkesan untuk menunjukkan keberhasilan pada pimpinan penegak hukum. Hal itu bisa menyebabkan substansi hukum dan rasa keadilan tidak terpenuhi. Bahkan, pemilik yang sah atau yang mewakilinya justru menjadi korban kriminalisasi. [SP-03]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*