
Oleh:Mubasyier Fatah
Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).
KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan memasukkan mata pelajaran (mapel) Coding dan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) di kurikulum pelajaran tingkat SD pada tahun ajaran 2025/2026 mendatang. Arti coding sendiri merupakan proses menuliskan instruksi dalam bahasa pemrograman untuk memberitahu komputer apa yang harus dilakukan.
Coding merupakan keterampilan dasar yang memiliki banyak peminat di period advanced sebab merupakan kunci hampir semua teknologi yang digunakan sehari-hari. Untuk bahasa dalam pemrograman coding, yakni Python, JavaScript, Java, C++, PHP, Ruby, Swift, R, Go.
Namun, mapel Coding dan AI ini hanya akan diberlakukan di sekolah yang sudah memiliki sarana yang mumpuni. Sebab, penerapan AI dan Coding membutuhkan alat-alat yang canggih, sarana internet yang bagus. Sementara itu, belum seluruh sekolah di Indonesia memiliki sarana itu. Lagi pula Kemendikdasmen belum memiliki solusi untuk mengatasi masalah fasilitas teknologi di sekolah-sekolah.
Dalam konferensi pers Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag 2024 di Ciawi, Bogor, pada 15 November lalu Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengatakan rencana Kemendikdasmen memasukan Coding dan AI ke dalam kurikulum juga berlaku untuk pelajar dan santri di madrasah dan pondok pesantren. Sebab tidak ada perbedaan antara sekolah yang berada di bawah naungan Kemenag dan Kemendikdasmen.
Sementarara itu, pada 11 Oktober 2024 lalu, Kemendiktiristek sudah menebitkan Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Rencana pemberlakuan mapel Coding dan AI mulai jenjang sekolah dasar ini merupakan pelaksanaan dari salah satu 8 misi Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuning Raka. Poin nomor 4 dari Asta Cita itu adalah “Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno, mengungkapkan, rencana pemberlakukan mapel Coding dan AI ini sebagai bagian dari program quick win pemerintahan Prabowo Subianto yang diharapkan membawa perubahan signifikan dalam waktu dekat.
Tekad Indonesia memasukkan AI ke dalam sistem pendidikan nasional sejalan dengan tren global. Laman resmi Unesco mencatat bahwa peluncuran aplikasi ChatGPT OpenAI pada akhir tahun 2022 memicu minat global terhadap aplikasi Kecerdasan Buatan (AI) generatif. Pasalnya, AI mampu mempercepat pengembangan dan peluncuran beberapa alat lain yang dapat menghasilkan bahasa, gambar, kode komputer, dan keluaran lainnya dengan kecepatan dan kelancaran yang luar biasa. Bahkan, AI dapat menimbulkan kemudahan dalam berbagai kegiatan manusia yang bersifat rutin. Laporan Unesco (2022b) menyebutkan menurut survei tahun 2022 di 190 negara mengungkapkan hanya sekitar 15 negara yang menerapkan kurikulum AI dalam pendidikan sekolah.
Sementara itu, survei terbaru pada Juli 2024 melibatkan lebih dari 3.800 siswa dari 16 negara mengungkapkan 86 persen siswa di seluruh dunia secara teratur menggunakan AI dalam studi mereka, dengan 54 persen menggunakan AI setiap minggu,.
ChatGPT ditemukan sebagai alat AI yang paling banyak digunakan, dengan 66 persen siswa menggunakannya, dan lebih dari 2 dari 3 siswa melaporkan menggunakan AI untuk mencari informasi. Meskipun tingkat penggunaan AI tinggi, 1 dari 2 siswa merasa tidak siap dengan AI. Sebanyak 58 persen melaporkan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai, dan 48 persen merasa tidak cukup siap untuk tempat kerja yang mendukung AI.
Baik atau Buruk
Laman resmi Unesco juga mencatat, melihat potensi besar AI, banyak jurnalis dan menteri pendidikan bertanya kepada Stefania Giannini, Asisten Direktur Jenderal Unesco Bidang Pendidikan: “Apakah teknologi digital seperti AI baik atau buruk bagi pendidikan?” Atas pertanyaan tersebut Stefani menjawab, katanya: “Jawabannya rumit!” Betapa tidak, menilik sejarah, setiap kali umat manusia mengadopsi teknologi baru untuk pendidikan, selalu muncul hal baik dan buruk sekaligus.
Kini, kita berhadapan dengan teknologi digital AI yang disebut-sebut akan membawa banyak ‘kebaikan’ bagi dunia pendidikan dan masa depan generasi muda. Penerapan AI dalam kurikulum akan memungkinkan semua siswa menerima dukungan yang dipersonalisasi dan kesempatan belajar yang inklusif. AI memperkuat hubungan dengan guru untuk bimbingan yang lebih baik. Kemudian mengotomatiskan tugas administratif, penilaian, dan analisis data, sehingga menghemat waktu pendidik. Platform bertenaga AI memberi siswa akses ke berbagai konten dan sumber daya pendidikan.
AI dapat membantu meningkatkan keterlibatan siswa dan memberi siswa kesempatan untuk melakukan umpan balik terperinci tentang kinerja mereka.
AI dapat memberikan analisis data yang lebih baik, sehingga memungkinkan pendidik untuk membuat keputusan berbasis data. Bahkan, AI dapat membantu lembaga pendidikan memprediksi siswa mana yang berisiko putus sekolah atau berkinerja buruk. AI dapat meningkatkan aksesibilitas dan inklusivitas, menciptakan pengalaman pembelajaran realitas virtual dan tertambah, serta dapat digunakan untuk riset dan kolaborasi efektif.
Namun AI memiliki beberapa kelemahan potensial. Betapa tidak, sudah ada generasi siswa yang mengandalkan sumber pengetahuan bukan dari literatur ilmiah seperti buku ajar, buku referensi dan jurnal, tetapi dari pencarian web, media sosial, dan penjelasan video serta TikTok. Kehadiran AI di dunia pendidikan akan menimbulkan risiko baru. AI misalnya akan menggantikan kerja keras siswa dan mahasiwa untuk mengerjakan tugas/PR, mendesain suatu program, menulis makalah, skrpis, tesis ataupun disertasi. Lingkungan belajar yang bersifat digital (AI) berpotensi menghilangkan konsentrasi siswa/mahasiwa mengikuti pembelajaran.
Itulah sebabnya, di banyak kampus terkemuka di AS seperti Harvard Business School, mahasiswa dilarang mengaktifkan laptop dan ponsel pintar selama perkuliahan. Sebab, perangkat digital tersebut menimbulkan terlalu banyak gangguan. Padahal, para dosen ingin para siswa terlibat dalam diskusi kasus tanpa gangguan.
Salah satu masalah yang cukup nyata adalah ‘keunggulan dan kelemahan’ AI tercampur aduk di benak masyarakat, bersamaan dengan kebingungan tentang cara kerja AI, sehingga banyak orang sulit berpikir secara mendalam tentang risiko dan manfaat.
Dalam sebuah makalah yang dipublikasikan beberapa tahun lalu, David Cohen dari lembaga riset American Enterprise Institute dan Rick Hess penulis buku Rick Hess Straight Up dari Education Week, menyatakan dunia pendidikan baru saja mencoba menyesuaikan diri dengan teknologi komputer dan internet untuk sistem pendidikan yang lebih demokratis.
Namun, kini telah hadir ekosistem teknologi digital (AI) dan media sosial yang jauh lebih berkembang dengan tantangan yang jauh lebih kompleks. Menurut mereka, tidak seperti, katakanlah, CD-ROM, AI bukanlah “sesuatu” yang digunakan oleh sekolah untuk para siswa. Namun, AI adalah teknologi yang ada di mana-mana yang akan mengubah banyak aspek kehidupan—dan sekolah, seperti lembaga lainnya, tidak punya pilihan selain mencari tahu cara menanggapinya.
Karena teknologi ini berkembang pesat, sering kali tidak jelas apa jawaban yang tepat untuk pertanyaaan: Apakah boleh AI menulis pesan Hari Valentine? Menyusun khotbah? Mengerjakan PR? Menulis paper, skripsi, tesis dan disertasi atau buku ajar?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab, dan tak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk memberikan jawaban akhir. Salah satu jalan yang dapat dipakai adalah menyediakan pedoman AI yang mengacu ke etika AI yang komprehensif.
Stakeholders Pendidikan
Oleh karena AI sangat kompleks, maka ketika otoritas pendidikan seperti Kemendikdasmen, Kemenristek dan Kemenag ingin AI dimanfaatkan di sekolah dan kampus, langkah penting sebelum itu adalah melibatkan semua stakeholders – terutama pihak penyelenggara sekolah, pihak manajemen, sivitas akademika, dan masyarakat – dalam wacana pemanfaatan AI.
Biarkan seluruh stakeholders pendidikan berpikir tentang kapan boleh menggunakan AI dan kapan diperkirakan menghambat pengembangan keterampilan atau menciptakan ketidakadilan. Warga sekolah/kampus peerlu memberikan pendapat dalam penyusunan pedoman tentang penggunaan AI. Ini tidak hanya mengubah AI menjadi momen pengajaran, tetapi juga menjanjikan untuk membuat siswa/mahasiswa merasa memiliki pedoman AI.
Sebab siswa/mahasiswa cenderung lebih mengikuti pedoman yang mereka bantu kembangkan daripada pedoman yang dipaksakan dari orang dewasa.
AI akan tetap ada dan akan terus berkembang ke tingkat yang sulit diprediksi. Tugas pemerintah mencari bentuk untuk menyalurkannya dengan cara yang melayani ambisi masyarakat dan dunia pendidikan supaya generasi muda berperan efektif dalam proses itu.***
Leave a Reply