Oleh: Timboel Siregar
PEMAHAMAN tentang hukum ketenagakerjaan oleh para pelaku hubungan industrial sangat berpengaruh pada pelaksanaan delapan sarana hubungan industrial. Kerap kali perselisihan hubungan industrial muncul karena ketidakpahaman para pelaku hubungan industrial terhadap hukum ketenagakerjaan. Salah satunya yaitu adanya regulasi operasional yang tidak singkron dengan UU yang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan sehingga iklim hubungan industrial menjadi terganggu.
Sudah sangat jelas Pasal 8 UU No. 2 Tahun 2004 tetang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) mengamanatkan bahwa Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota, namun tetap saja Kementerian Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) nomor 17 tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi, yang isinya bertentangan dengan Pasal 8 UU PPHI.
Pasal 8 UU PPHI menyatakan proses mediasi hanya ada di tingkat Kabupaten/Kota, dan oleh karenanya seharusnya Mediator hanya ada di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota. Tetapi Pasal 3 dan 4 Permenakertrans no. 17 tahun 2014 melegitimasi pengangkatan Mediator di tingkat Propinsi dan Kementerian Ketenagakerjaan sehingga proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan di tingkat Propinsi dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Kehadiran Pasal 8 ini pun diperkuat oleh Pasal 81 UU PPHI yang mengamanatkan Gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundangan (UU PPP) mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu kedudukan UU lebih tinggi dari Peraturan Menteri.
Pasal 7 ayat (2) UU PPP mengamanatkan Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dan dalam Penjelasannya disebutkan Penjelasan Pasal Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 7 UU PPP menegaskan hierarki UU PPHI di atas Permenker No. 17 Tahun 2014, dan oleh karenanya isi Permenaker no 17 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan Pasal 8 UU PPHI.
Akibat adanya Permenaker Nomor 17 tahun 2014 ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi melakukan proses mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Akibatnya bila ada Eksepsi, PHI pada Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) yaitu putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil.
Kasus teranyar terjadi di PHI pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas kasus PHK yang terjadi pada beberapa pekerja di kota Solok, Sumatera Barat dan Kota Langkat Sumatera Utara. Pihak Perusahaan bersikeras untuk mencatatkan PHK di kedua kota tersebut ke Pusat, dan pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengambil alih proses mediasi di Disnaker Solok dan Langkat. Tetapi tetap Disnaker Solok dan Lahat melanjutkan mediasi dan mengeluarkan Surat Anjuran.
Setelah Kemnaker mengeluarkan Surat Anjuran, pihak Perusahaan menggungat di PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas proses yang cacat formil ini, pihak pekerja melalui kuasanya melakukan Eksepsi terkait proses Mediasi di Kemnaker dan Gugatan di PHI pada PN Jakarta Pusat. Setelah mendengar saksi ahli dan saksi, Majelis Hakim menerima Eksepsi kuasa hukum pekerja dan menghentikan proses gugatan pengusaha di PHI pada PN Jakarta Pusat.
Atas surat anjuran dari Disnaker Solok dan Langkat, proses gugatan yang dilayangkan pekerja sedang berproses di PHI pada PN Padang dan PHI pada PN Medan. Proses gugatan terus berlangsung, tidak berhenti seperti di PHI pada PN Jakarta Pusat.
Saya berharap Kementerian Ketenagakerjaan memiliki niat baik untuk mematuhi Pasal 8 UU PPHI sehingga proses mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial benar-benar dilakukan di dinas tenaga kerja kabupaten/kota sehingga proses Gugatannya dilakukan di PHI pada Pengadilan Negeri tempat pekerja bekerja. [Penulis adalah Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia/OPSI].
Leave a Reply