Jakarta, SP –Kejaksaan Agung (Kejagung) harus oyektif dan membasmi mafia peradilan dalam sebuah kasus hukum di Jakarta Pusat. Sejumlah bukti sejak penyelidikan dan penyidikan bisa dipertanggungjawabkan agar prinsip keadilan dan kebenaran terungkap. Aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) yang terkait dalam proses tersebut perlu diperiksa.
Demikian penegasan Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) di Jakarta, Senin (26/4/2022). Hal itu menanggapi klarifikasi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana di sejumlah media terkait kriminalisasi dan mafia hukum.
Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia Gabriel Goa mendesak agar klarifikasi soal mafia hukum tersebut perlu memperhatikan bukti dan proses yang sudah dijalani para korban. Diduga, ada yang tidak beres terkait kasus ini sejak awal penahanan hingga putusan hukum. “Sejak awal polisi mengatakan penahanan karena terkait mafia tanah tapi tidak terbukti. Sekarang Kejaksaan Agung melakukan klarifikasi atas proses hukum yang kami nilai telah mengkriminalisasikan korban. Jangan sampai mengabaikan bukti-bukti yang ada,” ujar Goa.
Sebelumnya, Kapuspenkum Ketut Sumedana, Selasa (22/3), menyampaikan tanggapan atas beberapa pemberitaan media bahwa korban laporkan jaksa ke Kejagung dan Komisi III DPR RI. Klarifikasi dimuat dalam laman resmi kejaksaan.go.id dan sejumlah media online terkait kasus di Jalan Bungur Besar Raya Nomor 54 Kecamatan Bungur Jakarta Pusat. Adapun korban yang dikriminalisasi atas kejadian pada awal Februari 2021 itu diantaranya Devid dan Effendi.
“Dugaan terjadinya kriminalisasi hukum dan kriminalisasi HAM terhadap terpidana Devid dan terpidana Effendi adalah tidak benar karena penanganan perkara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” kata Kapuspenkum.
Selanjutnya, kata Ketut, terkait dugaan JPU tidak melaksanakan restorative justice juga tidak benar karena beberapa hal. Diantaranya, tidak ada perdamaian dalam tingkat penyidikan dan pada tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) serta perkara splitsing atas nama terpidana M dan terpidana AS, dkk terlebih dahulu disidangkan. Kemudian. terpidana Devid dan Effendi merupakan pelaku utama (dader) yang mengajak terpidana M dan AS,dkk (mededader) melakukan perbuatan yang didakwakan.
Padma dan Kompak menepis klarifikasi Kejagung tersebut. Informasi dan bukti dari para korban menyebutkan sudah ada kesepakatan (perdamaian) dan pencabutan laporan dilakukan di Polres Metro Jakarta Pusat saat penyelidikan. “Saat wawancara P21, kami sudah memberikan surat kesepakatan bersama/perdamain dan surat pencabutan laporan kepada jaksa walaupun penyidik mengatakan itu sudah diberikan semua ke jaksa,” ujar salah satu korban mafia hukum tersebut.
Terkait dengan penyebutkan sebagai pelaku utama (dader) juga dibantah. Menurut korban, jika merunut pasal 335 ayat 1 KUHP, mereka bukan pelaku utama. Hal ini sesuai fakta persidangan yang menyebutkan saat kejadian tidak terlihat terdakwa dan mereka tidak dilaporkan.
“Dalam persidangan disebutkan semua terjadi spontan dan tidak disuruh siapapun,” ujar korban.
Sebelumnya, mewakili korban Devid dan Effendi, Padma Indonesia melaporkan ke berbagai pihak, seperti Komisi Kejaksaan dan Kejaksaan Agung. Korban juga melapor ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Komisi III DPR RI terkait kriminalisasi hukum dan diskriminasi hak asasi manusia (HAM).
Secara khusus, korban juga mempertanyakan dakwaan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan pasal 114 ayat (2) UU Narkotika yang sudah diumumkan ke publik. Penerapan pasal tersebut keliru dan menyalahi Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHP. [PR/SP]
Leave a Reply