Presiden Diminta Pecat Kepala BKN

Kepala Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana.

RUTENG, SP – Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebaiknya segera memecat Kepala Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana dari jabatannya.

Pasalnya, Bima tidak patuhi putusan Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Kupang yang menganulir tindakan Bupati Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat yang memecat sejumlah PNS karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum.

“Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap sudah setara dengan undang-undang, ya harus dijalankan,” tegas Siprianus Edi Hardum, praktisi hukum dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Selasa (30/3/2022).

Edi mengatakan itu terkait pada 24 Maret 2022, Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana datang ke Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menyerahkan SK pengangkatan dan NIP kepada ratusan CPNS baru.
Pada kesempatan itu, Bima Haria Wibisana menyatakan, ia menyayangkan kebijakan Pemda Manggarai yang mengaktifkan kembali para ASN pelaku tindak pidana korupsi.

“Mereka kok masih bekerja, semestinya sudah tidak bisa karena ada suratnya dari BKN untuk memberhentikan mereka,” kata Kepala BKN Bima Haria Wibisana, sebagaimana dikutip sebuah media online.

Menurut Bima, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tapi bekerja tanpa Nomor Induk Pegawai (NIP) dianggap ilegal. Nanti tidak bisa dieksekusi (NIP) karena tidak ada aturan yang bisa menghidupkan status kepegawaian mereka yang sudah mati nggak ada lagi.

Bima mengatakan, demikian kutipan media online tvonenews.com, Bupati pasca putusan PTUN mestinya menerbitkan SK pemberhentian lagi dengan merujuk keputusan BKN yang tidak akan mengatifkan lagi NIP ASN bermasalah yang telah diblokir.

Sebagaimana diberitakan, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang telah memutuskan menerima gugatan sejumlah PNS di tiga kabupaten itu. Para PNS itu menggugat bahwa pemecatan mereka sebagai PNS oleh bupati masing-masing karena dinilai telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Majelis hakim PTUN dalam putusannya bahwa tindakan tiga bupati itu tidak benar. Majelis hakim memerintahkan agar para PNS diangkat kembali sebagai PNS serta pulihkan harkat dan martabat mereka. Putusan PTUN Kupang itu sudah berkekuatan hukum tetap (inkrach).

Kabupaten Manggarai ada 9 PNS yang menghadapi masalah itu. Tidak lama setelah setelah putusan itu keluar, Bupatinya waktu itu, Deno Kamelus mengaktifkan kembali 9 orang itu menjadi PNS. Namun, walaupun mereka sudah menerima gaji tetapi Nomor Induk Kepegawaian (NIP) mereka belum dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Nasional (BKN).

Di Manggarai Timur ada 11 orang dipecat dari PNS namun gugatan mereka diterima PTUN Kupang pada tahun 2018. Namun, bupatinya belum mengaktifkan kembali mereka karena harus menunggu persetujuan dari BKN. Di Manggarai Barat juga sama dengan di Manggarai Timur.

Edi yang merupakan advokat dari kantor Hukum “Edi Hardum and Partners” ini menegaskan, pertama, Kepala BKN dan BKN bukan atasan kepala daerah seperti bupati, wali kota dan gubernur dalam urusan PNS atau ASN. Bupati, wali kota dan gubernur adalah perpanjangan tangan Presiden dalam urusan mengangkat dan memberhentikan PNS atau ASN. Sedangkan BKN pelaksana kebijakan yang telah dikeluarkan para kepala daerah terkait PNS atau ASN.

Kedua, Surat Keputusan BKN dalam tata urutan perundangan-undangan Indonesia berada di bawah putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang tingkatannya setara dengan undang-undang (uu).
Karena itulah, Edi meminta agar Presiden segera mencopot Kepala BKN dari jabatannya.

Ketiga, para kepala daerah terutama Bupati Manggarai Hery Nabit abaikan permintaan Kepala BKN. “Pemkab Manggarai aktifkan kembali 9 PNSnya sesuai putusan PTUN Kupang sudah tepat. Bukan illegal. Jangan ikuti imbauan yang keliru dari Kepala BKN,” kata dia.

Ketiga, Presiden segera aktifkan kembali semua NIP PNS yang telah menang dalam gugatan di PTUN di mana pun di wilayah Indonesia. “Presiden harus beri teladan patuh kepada hukum,” tegas Edi.

Edi menegaskan, Indonesia adalah negara demokrasi. Ciri utara negara demokrasi adalah menjunjung tinggi hukum. Indonesia sebagai negara demokrasi Pancasila diatur jelas dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi,”Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Dengan adanya hukum, maka tidak boleh terjadi penindasan oleh anggota masyarakat yang satu terhadap anggota masyarakat lainnya; oleh kelompok masyarakat yang satu terhadap kelompok masyarakat lainnya; atau oleh pemerintah terhadap masyarakat, atau oleh masyarakat terhadap pemerintah. Negara dalam arti sempit adalah pemerintah.

Untuk mengatur dan menyelesaikan “sengketa” antara pemerintah dengan masyarakat maka dibentuklah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Harus Dieksekusi

Ia mengatakan, ketika putusan PTUN keluar dan berkekuatan hukum tetap (inkrach) maka putusannya harus dieksekusi.
Pasal 116 UU 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN mengatur, pertama, 14 sejak putusan dibacakan pihak mengirim salinan putusan kepada para pihak. Kedua, kalau dalam waktu tiga bulan sejak 14 hari putusan dibacakan, putusan itu belum dilaksanakan oleh pihak tergugat (pihak yang kalah), maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

Ketiga, jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Bupati tentu atasannya adalah Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Presiden.

Ketiga, instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam waktu dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat yang dimaksud melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
Keempat, dalam hal instansi atasan tidak mengindahkan ketentuan, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut”.

Kalau Menteri, Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang memberi sanksi PNS seperti pemecatan mentaati hukum (undang-undang) maka segera mengangkat PNS yang telah dipecat itu menjadi PNS.

Begitu terima salinan putusan PTUN, maka salinan putusan itu diberikan kepada Badan Kepegawain Nasional (BKN) agar NIP PNS yang bersangkutan kembali diaktifkan, serta gajinya yang dibekukan selama ia menjalani hukuman harus dibayar negara.

BKN Tidak Berwenang

Edi mengatakan, keberadaan BKN dipayungi dua peraturan Perundang-undangan.
Pertama, UU ASN. Dalam UU ini hanya tiga pasal yang secara eksplisit mengatur BKN yakni pasal 47 mengenai fungsi BKN; pasal 49 mengenai tugas BKN dan mengenai kewenangan BKN.

Dari fungsi, tugas dan kewenangan BKN dalam UU ASN, penulis tidak temukan ketentuan bahwa BKN berhak dan berwenang menahan NIP (Nomor Induk Kepegawaian) PNS yang sempat diblokir karena dipecat kemudian harus diaktifkan kembali atas perintah pengadilan (putusan PTUN).

Kedua, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2013 tentang BKN. Pasal 1 ayat (1) Perpres ini berbunyi,”Badan Kepegawaian Negara adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi
birokrasi”.

Pasal 3 poin b Perpres menyatakan BKN menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan pengadaan, mutasi, pemberhentian dan pensiun, serta status dan kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil.
Apakah pada Pasal 3 poin 3 ini sehingga BKN masih enggan memberikan mengeluarkan NIP PNS di Matim, Manggarai dan Mabar ?

Menurut Edi, tidak. BKN begitu ada pemberitahuan dari bupati dan atau pejabat yang berwenang mengangkat kembali para PNS itu sebagai pelaksanaan dari putusan pengadilan, maka BKN harus keluarkan NIP PNS itu. [WG]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*