Demonstrasi, Kelelahan Sosial, dan Darurat Revolusi Akhlak Elite

Oleh: Dr. Giri Susilo HJP, MM
(Human Capital Development Expert)

SEMUA tindakan anarkis dalam demonstrasi harus dikutuk. Kita sepakat demonstrasi adalah sarana kontrol dalam alam demokrasi. Demonstrasi terjadi ketika saluran pendekatan ilmiah, argumentasi data, dialog dan diskusi tidak menghasilkan kesepakatan alias jalan buntu. Belakangan ini rakyat dihadapkan berbagai persoalan anomali sosial dan politik. Blunder kebijakan kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang fantastis, komentar politisi yang kasar dan tidak enak didengar, hilangnya empati elite dengan berjoget saat rakyat menjerit sampai kenaikan berbagai tunjangan untuk anggota DPR. Akumulasi sosial dan politik yang tidak berujung dan berulang menimbulkan kelelahan sosial.

Makna terdalam dari kelelahan sosial dalam bernegara dapat dipahami sebagai akumulasi jenuh, frustrasi, dan kehilangan energi kolektif masyarakat akibat ketidakseimbangan antara harapan ideal dengan realitas praktik bernegara. Kelelahan ini lahir dari siklus panjang janji-janji politik yang kosong, ketidakadilan berulang, birokrasi yang kerap lamban dan koruptif, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang melebar. Masyarakat mengalami “krisis kepercayaan” terhadap negara dimana partisipasi, kritik, bahkan perjuangan untuk perubahan tidak membuahkan hasil.

Pada tataran sosiologis, kelelahan sosial tampak dalam menurunnya partisipasi publik, meningkatnya apatisme politik, dan maraknya sinisme terhadap elite maupun institusi negara. Hal ini bukan sekadar keletihan fisik atau kejenuhan emosional, melainkan krisis legitimasi yang berakar pada pengalaman kolektif. Rakyat merasa selalu diminta untuk taat, berkorban, dan sabar, sementara penyelenggara negara dan elite gagal hadir memenuhi kebutuhan dasar dan melindungi hak-hak mereka.

Dalam makna terdalamnya, kelelahan sosial dalam bernegara adalah jeritan diam masyarakat. Ini tanda bahwa energi moral bangsa sedang terkikis, rasa kebersamaan membangun negara kehilangan nyawa, dan relasi antara rakyat dan negara membutuhkan perbaikan mendasar. Bukan sekadar reformasi struktural, tetapi rekonstruksi etika, integritas, dan keadilan sosial sebagai pondasi kehidupan berbangsa.

Dalam sistem demokrasi, pejabat publik seperti anggota dewan, kepala daerah dan presiden dituntut berkompetisi mendapat amanah dari organisasi pengusungnya lalu amanah dari jutaan rakyat di daerahnya. Saat menjabat, pejabat publik berserta tim pendukung perlu menjaga amanah dengan baik, tapi godaain selalu datang silih berganti. Isu gaya hidup hedonis dan pamer kekayaan pejabat publik menimbulkan kritik dan kekecewaan, sehingga citra pejabat publik tercoreng.

Pemimpin berintegritas menegakkan kebenaran meski berat, konsisten dalam prinsip, serta menolak kompromi pada nilai-nilai moral. Integritas ini menjadi modal sosial yang melahirkan kredibilitas, kepercayaan publik, serta legitimasi kepemimpinan. Tanpa integritas, kepemimpinan rapuh, mudah goyah, dan kehilangan arah. Masyarakat menilai kinerja pejabat publik berdasarkan pelayanan yang diberikan. Laporan-laporan menunjukkan keluhan mengenai pelayanan publik masih rendah di pusat dan beberapa daerah. Isu-isu penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dianggap tebang pilih seperti kasus para tokoh publik atau kepala daerah, mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap hukum dan pemerintah.

Partisipasi dalam menyuarakan kebutuhan dan harapan sebenarnya dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun, terkadang masih ada kesenjangan antara harapan masyarakat dan kinerja yang diberikan. Hal ini diperburuk perilaku oknum pejabat publik yang sembrono dalam berkomunikasi menambah panjang catatan negatif terhadap pejabat publik.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, pengokohan keteladanan dan kepemimpinan berintegritas sangatlah penting mencegah krisis moral dan kepercayaan. Rakyat menilai pemimpin bukan dari retorika, melainkan perilaku nyata. Teladan pemimpin menjadi standar perilaku anggota. Jika pemimpin bersih dan berintegritas, rakyatpun terdorong menjaga hal yang sama. Ibarat guru kencing berdiri maka murid kencing berlari, demikian peribahasa Indonesia. Kepemimpinan yang konsisten pada nilai dan prinsip akan melahirkan kebijakan yang berkesinambungan, bukan sekadar populis atau sesaat.

Keteladanan dan Integritas Pemimpin
Keteladanan merupakan inti dari kepemimpinan. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memberi arahan, tetapi juga menjadi contoh nyata dalam perkataan, sikap, perbuatan dan kesederhanaan. Rakyat terlalu muak dengan gaya hidup hedonis elite pejabat. Pemimpin berintegritas menegakkan kebenaran meski berat, konsisten dalam prinsip, serta menolak kompromi pada nilai-nilai moral. Integritas ini menjadi modal sosial yang melahirkan kredibilitas, kepercayaan publik, serta legitimasi kepemimpinan. Tanpa integritas, kepemimpinan akan rapuh, mudah goyah, dan kehilangan arah.

Masyarakat hanya memerlukan bukti dengan sebuah tindakan dan keteladanan nyata. Pejabat publik benar-benar berjuang meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan karya nyata dan kontribusi bukan pencitraan apalagi janji-janji palsu.

Kondisi yang ada, Pemerintah Indonesia harus berani segera mengumumkan darurat revolusi akhlak untuk para pejabat publik yang ada. Tidak ada pilihan lain, Akhlak pejabat publik menjadi pondasi menegakkan kembali marwah pemerintahan yang ada. Dengan memperkuat nilai dan praktik baik dalam masyarakat serta menumbuhkan semangat kenegarawanan.

Sejarah sudah mencatat Indonesia banyak melahirkan para pahlawan yang selalu mempunyai gagasan dan ide besar membangun bangsa yang besar ini. Tidak perlu merumuskan ulang para pahlawan pendahulu, cukup meneladani dan mengimplementasikan kedalam dunia nyata. Jika momentum membangun perubahan bangsa ini dilakukan secara teratur, terstruktur dan terukur, maka bangsa besar yang bernama Indonesia ini akan dipimpin sosok teladan dan berintegritas dengan daya saing tinggi, berkeadilan, serta bermartabat.***

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*