
JAKARTA, SP – Kelapa sawit merupakan komoditas strategis terkait penyumbang devisa terbesar, penopang ketahanan energi, dan sumber penghidupan bagi jutaan petani. Namun, tata kelolanya masih diwarnai tumpang tindih regulasi, konflik lahan, hingga birokrasi berbiaya tinggi. Untuk itu, kehadiran semacam Badan Sawit Nasional (BSN) atau Badan Komoditas Strategis (BKS) sangat diperlukan.
Demikian disampaikan Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono di Bogor, Minggu (5/10/2025). Penegasan tersebut juga memperkuat diskusi sejumlah tokoh dan praktisi kelapa sawit dalam beberapa forum terpisah.
Darmono mengakui diskusi para tokoh sawit nasional tersebut mengungkapkan dua sisi. Yakni, harapan besar bahwa badan ini mampu menyatukan pengelolaan sawit dari hulu hingga hilir, sekaligus kekhawatiran BSDN hanya menambah keruwetan birokrasi.
“Para tokoh melihat BSN sebagai jawaban atas kebuntuan tata kelola sawit. Lembaga ini diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi petani dan pelaku usaha, sekaligus menjadi wadah advokasi ketika sawit mendapat tekanan internasional,” ujar pakar ganoderma ini.
Dia menjelaskan, dukungan atas gagasan ini dari Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) yang siap memfasilitasi rapat dengar pendapat dengan DPR. DPR mendorong pembentukan Badan Komoditas Strategis yang mencakup sepuluh komoditas, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, karet, dan teh.
Menurut sebagian tokoh, ujarnya, pembentukan badan khusus akan menyederhanakan tata kelola. Hal ini harus dimulai dengan kemauan politik untuk membenahi secara menyeluruh. Salah satunya agar sawit tak lagi terjebak dalam regulasi tumpang tindih,” ujar Darmono mengutip salah satu tokoh sawit.
Namun, kata Darmono, tidak sedikit yang meragukan efektivitas badan baru seperti BSN tersebut. Pertama, kesiapan kementerian dan lembaga (K/L) melepas otoritas. Pengalaman masa lalu menunjukkan kecenderungan kementerian untuk mempertahankan kewenangannya. Keberadaan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Badan Gizi Nasional (BGN), bahkan Kementerian Koordinasi Bidang Pangan pun tak mampu mengambil alih peran teknis K/L.
Kedua, risiko menambah birokrasi dimana kehadiran badan khusus jangan sampai meningkatkan keruwetan K/L yang sudah ada. “Dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) saja tantangannya besar, bagaimana jika satu badan mengurus banyak komoditas sekaligus,” tanya Darmono.
Ketiga, masalah koordinasi lahan dan aturan. Sertifikat milik petani plasma yang kemudian dinyatakan berada di kawasan hutan adalah contoh nyata tumpang tindih regulasi. Tanpa harmonisasi, badan baru berpotensi gagal menyelesaikan masalah fundamental ini.
Seperti diketahui, lembaga Ombudsman RI juga mendorong pemerintah membentuk BSN untuk membenahi tata kelola industri sawit. Pada tahun 2024, Ombudsman RI telah melakukan kajian sistemik (systemic review) terhadap tata kelola industri kelapa sawit Indonesia dengan memeriksa 52 institusi se-Indonesia dalam waktu enam bulan. Beberapa pakar dan praktisi sawit pun sudah mengangkat urgensi BSN tersebut, namun perlu diperkuat dengan acuan legalitasnya. [PR/SP]
Leave a Reply