Pemerintah Perlu Mempertimbangkan Penghapusan Kuota Impor

Oleh: Mubasyier Fatah
Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU).

Presiden Prabowo, dalam sesi diskusi Sarasen Ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, Selasa (8/4/2025), meminta agar kuota impor, terutama komoditas terkait kebutuhan dasar masyarakat, dihapuskan. Daging merupakan salah satu komoditas dalam penghapusan kuota impor. Presiden memerintahkan Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian memberi peluang seluas-luasnya kepada pengusaha untuk impor.

“Siapapun diperbolehkan melakukan impor. Mau mengimpor apa, silahkan saja. Rakyat kita juga pintar, bukan? Membuat kuota-kuota, lalu hanya menguntungkan perusahaan tertentu” demikian kata Prabowo.

Presiden tidak menjelaskan siapa dan apa yang dimaksud perusahaan yang mendapatkan hak monopoli. Namun, untuk daging sapi, terdapat beberapa pengimpor yang memegang lisensi, antara lain PT Berdikari Indonesia, PD Dharma Jaya, Perum Bulog, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan PT Global Pratama Wijaya.

Dalam konteks perdagangan internasional, kuota menjadi salah satu metode pemerintah membatasi jumlah produk impor dari luar negeri untuk melindungi industri lokal. Kuota sebagai penghalang perdagangan dengan menetapkan jumlah maksimum dari jenis barang tertentu yang boleh diimpor dalam jangka waktu tertentu.

Indonesia menerapkan kebijakan ini untuk melindungi produk pangan dalam negeri dengan membatasi jumlah impor. Biasanya setiap tahun berubah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2024, pemerintah mengatur kuota impor daging sapi dan kerbau, beras, jagung, bawang merah, bawang putih, daging unggas, telur unggas, serta komoditas pangan lainnya.

Pada tahun 2024, kuota beras ditetapkan 3,6 juta ton. Sementara daging sapi dibatasi hingga 145.250 ton bagi swasta, dan daging kerbau sebesar 100.000 ton khusus untuk BUMN. Alasan di balik penerapan kuota oleh pemerintah untuk mengendalikan kestabilan harga daging pasar domestik. Upaya ini juga bertujuan menciptakan keseimbangan permintaan dan penawaran agar harga tetap terjangkau serta melindungi peternak lokal dengan membatasi jumlah impor daging sapi dan kerbau.

Ketahanan Pangan
Penghapusan kuota impor tidak selalu berdampak negatif. Menteri Keuangan Sri Mulyani, contohnya, menyatakan kebijakan kuota justru mempermudah pengelolaan izin lebih moderat. Kuota selama ini tidak menghasilkan pendapatan bagi negara, menambah beban transaksi, dan menciptakan kurangnya transparansi. Menghilangkan kuota impor juga mengurangi dominasi perusahaan tertentu. Keberadaan barang impor yang melimpah akan berkontribusi pada penurunan harga barang. Ini membantu memenuhi kebutuhan lokal.

Dalam hal daging, data Proyeksi Neraca Pangan menunjukkan komoditas daging sapi dan kerbau masih mengalami kekurangan permintaan dan pasokan. Pada awal 2025, daging sapi dan kerbau diperkirakan mencapai 65,6 ton. Jika ditambahkan dengan stok sapi dan kerbau dalam negeri selama satu tahun 410,3 ribu ton. Jumlah pemotongan sapi dan kerbau mencapai 141,3 ribu ton. Hal ini membuat total ketersediaan mencapai 617,3 ribu ton. Kebutuhan konsumsi domestik 766,9 ton dari total kebutuhan nasional.

Jadi, masih ada kekurangan konsumsi sapi dan kerbau dalam negeri. Penghapusan kuota impor memberikan keuntungan bagi sektor logistik karena bertambahnya volume impor. Keputusan Presiden mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) membawa manfaat bagi industri elektronik dan otomotif domestik, terutama suku cadang yang belum diproduksi lokal.

Melemahkan Daya Saing
Penerapan tarif oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, terutama tarif resiprokal sebesar 32 persen, berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Ini mendorong pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi yang terkesan terburu-buru dan hanya sebagai alat tawar-menawar dengan AS, tanpa memperhatikan kondisi domestik. Sebagai konsekuensi risiko dari kebijakan ini, permintaan domestik produk Indonesia, khususnya daging sapi, unggas, dan telur, diprediksi menurun.

Penyebabnya tentu tingginya aliran produk pangan murah dari luar negeri yang masuk, berdampak negatif bagi industri pertanian lokal dan dapat mengganggu neraca perdagangan nasional. Sektor vital seperti pangan di Indonesia sangat terkena akibat dari penghapusan kuota impor. Padahal, data menunjukkan industri pangan, pertanian, dan perikanan menyerap tenaga kerja hingga 40,72 juta, dengan subsektor tanaman pangan mempekerjakan sekitar 13,2 juta orang pada tahun 2025.

Dalam sektor industri makanan, sebanyak 27% tenaga kerja terlibat, terdiri dari industri kecil, menengah, dan besar. Ancaman yang tidak kalah serius juga muncul; jika negosiasi pemerintah tidak berhasil, permintaan barang dari AS diperkirakan menurun, yang bisa memicu pemutusan hubungan kerja. Penghapusan kuota ini juga berdampak pada nilai tukar rupiah dan pasar keuangan yang mengalami penurunan. Dapat dipastikan nilai tukar rupiah mendapatkan tekanan dari mata uang asing, termasuk dolar AS. Selanjutnya, para pelaku usaha ekspor dan impor akan menghadapi krisis akibat tingginya harga dolar.

Menurut para analis, situasi tidak berhenti di sini; penurunan nilai rupiah juga berdampak langsung pada perubahan harga saham. Usaha mikro kecil menengah (UMKM), serta pelaku bisnis sektor pertanian, akan bangkrut. Pasalnya, tingkat produktivitas rendah. Jumlah pengangguran meningkat. Banyaknya barang impor masuk, neraca perdagangan defisit dan berdampak melemahnya kekuatan ekonomi domestik.

Memitigasi Risiko
Dengan penghapusan impor, tentu saja memengaruhi daya saing produk Indonesia, yang kian lemah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah melakukan langkah-langkah mitigasi risiko agar produk lokal dapat bersaing di tengah maraknya impor. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil:

Pertama: Pemerintah harus memperkuat komitmen melindungi produk-produk UMKM dengan memberikan dukungan struktural, terutama meningkatkan produktivitas melalui pelatihan dan bantuan alat-alat pertanian.

Kedua: Mengubah beberapa regulasi yang menciptakan iklim usaha tidak kondusif untuk mengurangi inefisiensi proses produksi barang dan jasa. Ini penting karena berimbas negatif pada daya saing produk lokal akibat tingginya biaya produksi.

Ketiga: Mengurangi birokrasi pengurusan izin dan biaya izin industri domestik; lama dan mahalnya proses izin menjadi hambatan UMKM bersaing dengan produk impor.

Keempat: Membantu UMKM pangan dan petani kecil menjaga kestabilan harga pangan, dan meningkatkan daya saing dengan menetapkan kebijakan pupuk bersubsidi dan mendorong inovasi produk pangan dan pertanian. Kebijakan ini diarahkan pada menyediakan pupuk dan peralatan teknologi dengan harga terjangkau para petani. Pupuk bersubsidi diharapkan dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani sehingga harga pangan lokal bisa bersaing.

Kelima: Mempermudah akses perbankan bagi UMKM. UMKM perlu akses pembiayaan lebih mudah serta suku bunga bersaing agar mampu bertahan dan berkembang meningkatkan daya saing. ***

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*