Putusan MK Soal Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK Multitafsir

JAKARTA, SP – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perpanjangan masa jabatan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat multitafsir dan problematik.  Putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut membuat jabatan Pimpinan KPK  yang awalnya hanya empat tahun menjadi lima tahun.

Amstrong Sembiring, Mantan Calon Pimpinan KPK  Periode 2019 – 2023 mengatakan, pertimbangan mengenai keberlakuan Putusan 112/PPU-XX/2022 bagi Pimpinan KPK saat ini ada dalam pertimbangan paragraf 3.17 halaman 117.

Bunyinya adalah: “Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih enam bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan. MK menyegerakan memutus perkara ini agar Putusan memberikan kepastian dan kemanfaatan berkeadilan bagi Pemohon khususnya dan keseluruhan Pimpinan KPK saat ini,” kata pria yang bekerja sebagai advokat ini.

Menurut Amstrong, ada tujuh hal yang bisa dikatakan anomali, yaitu, pertama, soal putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat norma baru dengan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK. “Hal ini melampaui kewenangan MK,” kata Amstrong, Senin (29/5/2023).

Dikatakan, karena Undang-Undang Dasar 1945 mengatur pemerintah dan DPR sebagai pembuat undang-undang dan norma di dalamnya atau positive legislator. “Perpanjangan masa jabatan hingga penentuan syarat usia wewenang sepenuhnya pembentuk undang-undang,” kata dia.

Ia mengatakan, open legal policy merupakan kebijakan yang hanya bisa dibuat oleh pembentuk UU, yakni pemerintah dan DPR.

Kedua, jika merujuk berdasarkan referensi pada putusan-putusan MK sebelumnya, materi gugatan yang sifatnya open legal policy atau kebijakan hukum terbuka seperti yang diajukan Nurul Ghufron, “hakim konstitusi akan menolak gugatan tersebut”.

Ketiga, putusan MK tersebut secara implisit atau tidak langsung sudah mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK. Tentunya MK secara tidak langsung juga terseret ke dalam muatan politik praktis.

Keempat, berlaku masa jabatan lima tahun juga ditujukan kepada Dewan Pengawas KPK bisa menimbulkan konflik kepentingan.

Kelima, selain itu jika merujuk pada pertimbangan hakim halaman 117 tafsirnya adalah memberikan kepastian hukum kepada panitia seleksi (pansel) untuk segera bekerja namun putusan MK tidak bisa ditafsirkan sendiri. putusan itu tidak boleh berlaku surut.

Pemahaman tafsir hukum seperti bisa juga dimaknai bahwa putusan tersebut yaitu bukan artinya diteruskan masa jabatan Firli menjadi lima tahun.

Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun itu berlaku mulai 2024. Dalam putusan itu sendiri dikatakan, masa lima tahun itu dimulai dari tahun 2024 sampai 2029, berarti kan bukan sekarang.

Keenam, dalam struktur managemen tentunya menjadi tidak make sense, karena jika jabatan Firli cs ditambah satu tahun lagi kacau semua anggaran sampai rencana kegiatan. Hal itu juga dapat membuktikan perencanaan yang sudah dipersiapkan menandakan tidak valid, tersistematis dan terstruktur.

Ketujuh, gugatan yang diajukan oleh Nurul Ghufron, judicial review yang diajukan itu berkaitan dengan kepentingan pribadinya, yaitu mengenai masalah minimal umur pimpinan KPK. Kemudian, setelah itu diajukan, di tengah jalan, Nurul Ghufron memasukkan kembali gugatan yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK.

Gugatan Nurul Ghufron mengandung yang kita sebut di dalam hukum, conflict of interest (konflik kepentingan) karena pemohon mengajukan berkaitan dengan kepentingan pribadi versus ketentuan aturan hukum KPK. [EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*