
JAKARTA, SP – Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menyatakan sependapat dengan pandangan kritis terkait kebijakan mandatori B50. Upaya tersebut harus dilakukan dengan kajian dan perhitungan matang agar tidak mengorbankan upaya hilirisasi dan para petani sawit.
Hal itu disampaikan Ketua MAKSI Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc yang mempertegas padangan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi yang mengingatkan rencana penerapan kebijakan biodiesel B50 berpotensi menimbulkan tekanan besar terhadap industri sawit nasional. B50 adalah jenis bahan bakar diesel terbarukan yang merupakan campuran dari 50 persen CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) dan 50 persen solar konvensional (fosil).
Bayu menyampaikan bahwa kebijakan mandatori B50 dinilai berpotensi menjadi “genta kematian” bagi industri sawit nasional apabila tidak disertai perhitungan matang terhadap kondisi produksi di hulu dan penguatan hilirisasi di dalam negeri.
Darmono menjelaskan saat ini produksi sawit nasional cenderung stagnan, bahkan menunjukkan tanda-tanda penurunan produktivitas akibat penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma boninense), penurunan kesuburan lahan, dan keterlambatan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
“Sebelum memperluas konsumsi CPO untuk B50, pemerintah sebaiknya menyelesaikan dulu masalah mendasar di hulu, yaitu produktivitas kebun dan pengendalian Ganoderma. Tanpa solusi di hulu, tambahan serapan CPO untuk energi justru memperburuk ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan,” ujar Darmono, Sabtu (18/10/2025).
Dikatakan, arah pembangunan sawit nasional tidak boleh hanya bertumpu pada program energi berbasis FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dari minyak sawit mentah (CPO). “Kita tidak boleh terjebak dalam paradigma jangka pendek. Sawit bukan sekadar sumber biodiesel, tetapi sumber pangan, farmasi, dan bahan aktif kesehatan yang jauh lebih bernilai tinggi. Jika terlalu banyak CPO diserap untuk B50, kita kehilangan peluang besar di sektor hilir,” ujarnya.
MAKSI menegaskan kebijakan B50 harus dikaji ulang dengan memperhatikan tiga kepentingan utama, yaitu pertama, keseimbangan antara energi dan pangan. Penggunaan CPO untuk biodiesel harus mempertimbangkan ketersediaan bahan baku industri pangan dan oleokimia dalam negeri. Kedua, keadilan bagi petani sawit dimana Program B50 harus memastikan mekanisme pembagian nilai ekonomi yang berpihak pada 41% petani rakyat yang hanya menjual TBS tanpa fasilitas pengolahan.
Ketiga, daya saing industri hilir dimana kebijakan energi hijau seharusnya memperkuat, bukan melemahkan, industri pengolahan bernilai tambah seperti minyak pangan sehat, kosmetik, farmasi, dan bio-material berbasis sawit.
Sementara itu, Koordinator MAKSI Kalimantan Timur, Dr Ir Zulkarnain, MS menilai kedaulatan energi baru terbarukan (EBT) dari sawit hanya bisa dicapai jika pemerintah melakukan ekstensifikasi secara terarah.
“Kalau mau berdaulat EBT dari sawit, pemerintah harus melakukan ekstensifikasi. Banyak lahan kritis di kawasan hutan yang bisa dimanfaatkan untuk sawit rakyat. Ini ibarat satu kali kayuh dua pulau dilewati, menghijaukan hutan sekaligus meningkatkan pendapatan dan menyediakan sumber EBT,” ujar Zulkarnain.
MAKSI mendorong agar kebijakan energi berbasis sawit tidak hanya dilihat dari aspek konsumsi biodiesel, tetapi juga sebagai bagian dari strategi besar ketahanan energi, pangan, dan lingkungan nasional. “Jangan sampai program B50 menjadi kebijakan yang tampak hijau, tetapi menggerus nilai ekonomi sawit nasional. Prioritas kita adalah memperkuat produktivitas kebun, memberantas Ganoderma di hulu, dan membuka peluang baru bagi sawit rakyat di lahan-lahan terdegradasi,” tutup Darmono. [PR/SP]
Leave a Reply