
Oleh: Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) dan Pelaku Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
PEMERINTAH baru-baru ini mengambil langkah kontroversi dengan memangkas hampir setengah anggaran Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) tahun 2025. Langkah tersebut menegaskan ironi ketika dunia berlari menuju masa depan berbasis teknologi, Indonesia memilih menginjak rem. Apa jadinya jika negara hendak menjadi kekuatan ekonomi digital Asia justru memangkas fondasi menopang visi tersebut? Ini bukan sekadar retorika, melainkan alarm masa depan daya saing bangsa.
Sejatinya, anggaran digital bukanlah sekadar angka dalam lembar APBN. Tapi, denyut nadi pembangunan infrastruktur internet, digitalisasi layanan publik, literasi digital, serta dukungan bagi UMKM agar masuk dan berkembang dalam ekosistem digital. Ketika anggaran dipangkas signifikan, konsekuensinya banyak program melambat, bahkan berhenti di tengah jalan.
Data resmi menunjukkan Kemkomdigi awalnya memiliki pagu Rp7,73 triliun untuk tahun 2025. Namun setelah serangkaian kebijakan efisiensi, anggaran itu menyusut hingga tersisa Rp3,89 triliun—hampir separuhnya hilang (Kemenkeu, 2025). Dengan pemangkasan itu, hampir setengah kesempatan Indonesia mempercepat transformasi digital ikut terpotong.
Bayangkan proyek infrastruktur TIK yang seharusnya menjangkau desa-desa terpencil. Dengan dana terbatas, pembangunan bisa tertunda, meninggalkan masyarakat pinggiran tetap terisolasi secara digital. Program literasi digital yang seharusnya membekali generasi muda juga terancam mandek. Layanan digital pemerintah, mulai dari administrasi kependudukan hingga akses bantuan sosial, berpotensi kembali lambat.
Paradoks Efisiensi
Ironisnya, pemangkasan ini dilakukan justru ketika digitalisasi terbukti menjadi salah satu cara efektif menghemat belanja negara. Laporan Bappenas menegaskan integrasi e-government dan GovTech bisa menghemat Rp350–Rp400 triliun per tahun, atau sekitar 30 persen dari total APBN (Bappenas, 2024).
Digitalisasi APBN melalui sistem e-katalog, e-budgeting, hingga e-payment telah menunjukkan hasil nyata, yakni belanja publik makin transparan, biaya lebih terkendali, dan akuntabilitas meningkat. UMKM menikmati manfaat langsung, seperti kemudahan akses bantuan, kejelasan data pasar, proses pembayaran yang lebih cepat (World Bank, 2023).
Namun, justru program yang terbukti efisien ini dipotong anggarannya. Pemerintah seolah memangkas “alat penghemat” yang memperkuat APBN. Paradoks inilah yang membuat kebijakan pemotongan anggaran digital tampak tidak masuk akal: mengurangi modal inovasi demi efisiensi jangka pendek, sekaligus mengabaikan potensi penghematan lebih besar.
UMKM dan Ekosistem Startup di Ujung Tanduk
Pemangkasan anggaran digital memperlihatkan paradoks serius. Di satu sisi, digitalisasi terbukti menghasilkan efisiensi besar bagi APBN, mempercepat pelayanan publik, serta memperluas akses ekonomi. Namun di sisi lain, justru pos anggaran inilah yang dikurangi, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi.
Dampak paling nyata akan dirasakan UMKM, tulang punggung ekonomi nasional yang jumlahnya mencapai 64 juta unit usaha dan menyumbang lebih dari 61 persen PDB Indonesia (Kominfo, 2023). Transformasi digital telah membawa sekitar 20 juta UMKM go digital, dengan target pemerintah mencapai 30 juta UMKM digital pada 2024 (Antara, 2023).
Pemangkasan berisiko menghentikan program literasi dan pendampingan, sehingga jutaan UMKM yang baru beradaptasi dengan e-commerce dan layanan fintech bisa tertinggal. Ekosistem startup pun berada di ujung tanduk. Indonesia kini memiliki lebih dari 2.562 startup, salah satu ekosistem terbesar di dunia (Antara, 2024). Startup membutuhkan stabilitas kebijakan dan infrastruktur digital untuk menarik investor. Namun, sinyal pemotongan anggaran membuat minat investasi berpotensi menurun.
Kontras dengan itu, negara lain justru memperkuat UMKM digital. Di Singapura, 99 persen UMKM telah terkoneksi digital berkat insentif pemerintah (IMF, 2023). Arab Saudi melalui Vision 2030 menyalurkan dana besar startup teknologi (World Bank, 2023). Korea Selatan pun meningkatkan belanja digital hingga 10 persen dari total anggaran negara (OECD, 2024). Perbandingan ini menegaskan pemangkasan anggaran digital bukan melemahkan UMKM dan startup, tetapi membuat Indonesia berisiko tertinggal.
Negara Lain Melaju
Sementara Indonesia menahan diri dengan pemangkasan anggaran, negara lain melaju dengan berani menambah belanja digital. Korea Selatan, misalnya, meningkatkan anggaran digital hingga 10 persen dari total belanja negara untuk mempercepat adopsi kecerdasan buatan (AI), jaringan 5G, dan layanan publik digital (OECD, 2024). Strategi ini menjadikan negeri ginseng sebagai pemimpin global dalam industri teknologi komunikasi dan otomasi.
Singapura menempatkan digitalisasi sebagai prioritas pembangunan nasional. Dana besar dialokasikan memperkuat e-government, meningkatkan literasi teknologi, serta mendukung inovasi sektor swasta (IMF, 2023). Hasilnya terlihat jelas, Singapura menjadi pusat digital dan finansial Asia Tenggara, melampaui banyak negara tetangganya.
Arab Saudi, melalui kerangka ambisius Vision 2030, menjadikan ekosistem digital sebagai fondasi utama dalam diversifikasi ekonomi nonmigas. Rencana ini mencakup investasi masif infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi—termasuk pengembangan broadband kecepatan tinggi—serta integrasi layanan publik berbasis aplikasi pintar (Vision 2030, 2025). Hasilnya terlihat bahwa ekonomi digital kerajaan kini menyumbang 15 persen dari PDB nasional, dengan pasar ICT melebihi SAR 180 miliar pada 2024 (MCIT Saudi Arabia, 2024).
Sementara itu, Vietnam bergerak cepat dalam transformasi digital di sektor publik dan swasta. Pemerintah meluncurkan strategi ekonomi digital nasional yang mencakup industrialisasi digital, administrasi publik digital, serta penguatan sektor IT dan data digital (U.S. Trade, 2024). Pertumbuhannya impresif yakni ekonomi digital Vietnam diperkirakan mencapai USD 45 miliar pada 2025, dan kini menyumbang lebih dari 12 persen dari PDB nasional (U.S. Trade, 2024). Investasi besar tersebut mendorong produktivitas ekonomi meningkat, akses publik terhadap layanan makin luas, dan daya saing global semakin diperkuat.
Dalam konstelasi geopolitik, pemangkasan anggaran digital menjadi langkah mundur membuat Indonesia tertinggal dari pesaing regional yang menjadikan teknologi pengungkit ekonomi.
Efisiensi Harus Berbasis Strategi
Efisiensi anggaran memang penting, tetapi efisiensi sejati tidak bisa dilakukan hanya dengan pemangkasan buta. Strategi yang matang harus menjadi dasar. Jika pemerintah benar-benar ingin efisiensi, ada tiga jalur utama yang bisa ditempuh.
Pertama, optimalisasi program yang sudah ada. Integrasi berbagai layanan digital bisa menekan biaya operasional tanpa mengurangi cakupan program. Kedua, memperkuat kemitraan publik–swasta (PPP). Melalui model ini, beban pembangunan infrastruktur TIK dan pelatihan digital dapat dibagi, sementara dampak positif tetap dirasakan. Ketiga, evaluasi menyeluruh terhadap return on investment dari setiap program digital. Setiap rupiah keluar dapat dipastikan manfaat ekonomi dan sosial yang terukur.
Tanpa strategi seperti ini, pemangkasan anggaran digital hanya menjadi kebijakan jangka pendek merugikan. Ia lebih mirip menutup mata terhadap peluang efisiensi yang sebenarnya, sekaligus mengabaikan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Digitalisasi dan Ketahanan Masa Depan
Pandemi Covid-19 memberi pelajaran penting bahwa negara dengan infrastruktur digital matang mampu menjaga layanan pendidikan, kesehatan, dan perdagangan tetap berjalan meski aktivitas masyarakat dibatasi (UNDP, 2022). Indonesia yang masih tertatih dengan keterbatasan digital sudah merasakan dampak buruk saat itu. Kini, dengan pemotongan anggaran, risiko keterpurukan serupa bisa terulang jika krisis datang kembali.
Selain itu, digitalisasi adalah jembatan bagi UMKM naik kelas. Teknologi akan mengurangi biaya operasional, memperluas pasar, dan menghadapi kompetisi global. Pemangkasan anggaran digital artinya menutup jembatan itu sebelum banyak UMKM sempat melewatinya. Digitalisasi juga penting bagi efisiensi birokrasi. Sistem administrasi digital mempercepat pencairan bantuan, meningkatkan akuntabilitas, dan menekan potensi korupsi. Tanpa anggaran, inisiatif ini berpotensi terhenti, meninggalkan birokrasi kembali dalam keterlambatan lama.
Keputusan pemerintah memangkas anggaran digital memperlihatkan paradoks serius. Di satu sisi, digitalisasi menghasilkan penghematan bagi APBN. Di sisi lain, justru pos anggaran itu yang dikurangi. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi terhambat, UMKM dan startup kehilangan dukungan, dan pelayanan publik kembali melambat.
Lebih jauh, kebijakan ini juga memberi sinyal negatif kepada dunia internasional. Investor melihat Indonesia sebagai negara yang kurang berkomitmen terhadap transformasi teknologi. Dalam iklim persaingan global yang kian ketat, keraguan semacam ini bisa menimbulkan konsekuensi serius bagi daya tarik investasi jangka panjang.
Selamatkan ‘Daya Saing’ Bangsa
Waktu untuk bertindak tidak banyak. Pemerintah perlu segera mengevaluasi kembali kebijakan ini. Pemangkasan anggaran digital harus diimbangi strategi jelas agar transformasi tetap berjalan. Publik berhak menuntut transparansi. Jika tidak, Indonesia kehilangan momentum emas membangun daya saing digital. Risiko yang dihadapi bukan sekadar tertinggal satu langkah, melainkan mundur jauh ketika negara lain terus berlari.
Efisiensi anggaran penting, tetapi efisiensi tanpa arah adalah bunuh diri perlahan. Indonesia tidak sedang kekurangan ide, melainkan keberanian menaruh investasi pada masa depan. Jika anggaran digitalisasi dipangkas, jangan kaget bila bangsa ini hanya menjadi penonton di panggung teknologi global, sementara kompetitor regional melesat jauh ke depan. ***
Leave a Reply