 
Oleh: M Hasanuddin Wahid (Sekjen DPP PKB dan Anggota DPR RI Komisi XI)
DATA menunjukkan perang antara Rusia dan Ukraina menampilkan dimensi baru yang belum pernah terjadi dalam perang sebelumnya. Ukraina, misalnya, menggunakan drone baik di darat maupun laut untuk menyerang basis militer dan sentra ekonomi Rusia. Cara yang sama juga dilakukan Rusia, meskipun teknologi siber dan AI yang digunakan memiliki dimensi kognitif berbeda. Namun tujuan dan penggunaannya sama: memenangkan perang dengan kecerdasan, bukan sekadar kekuatan.
Perang Rusia–Ukraina kini tidak lagi sepenuhnya ditentukan jumlah pasukan, tank, atau roket, melainkan oleh seberapa cepat dan cerdas sebuah sistem dapat “berpikir”. Di medan tempur Donbas hingga Laut Hitam, drone–drone otonom beroperasi seperti kawanan lebah: mengintai, menyerang, lalu kembali memberi data ke sistem komando. Mereka bergerak berdasarkan perintah algoritma, bukan manusia semata. 
Teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini menjadi senjata paling strategis. Kedua pihak — Rusia dan Ukraina — memanfaatkan AI bukan hanya untuk menyerang, tetapi juga untuk menipu, menganalisis, dan memengaruhi lawan. “Medan perang tidak lagi sekadar fisik, tetapi juga kognitif,” tulis analis militer dari Center for Naval Analyses, Samuel Bendett. “Pihak yang mampu menguasai persepsi dan data akan memenangkan pertempuran.”
Drone di Darat, Laut, dan Langit
Penggunaan drone menjadi simbol transformasi perang modern. Ukraina disebut sebagai pelopor perang berbasis drone dengan skala besar. Drone darat digunakan untuk menyerang posisi tank Rusia, drone laut untuk menghantam kapal perang di Laut Hitam, dan drone udara — dari ukuran kecil hingga besar — untuk mengintai wilayah jauh di belakang garis musuh. 
Salah satu terobosan penting adalah sea drone Magura V5, yang dikendalikan dengan sistem semi-otonom dan mampu membawa muatan peledak hingga 300 kilogram. Dengan bantuan AI, drone ini dapat mengenali bentuk kapal dan menentukan jalur tercepat menuju sasaran. Di sisi lain, Rusia mengembangkan drone Lancet dan Orlan-10 yang memiliki fungsi ganda: pengintaian dan serangan presisi. Kedua sistem ini dipadukan dengan algoritma pengenalan citra yang dikembangkan oleh lembaga pertahanan Rusia. 
Kedua pihak kini sama-sama mengandalkan apa yang disebut “AI-assisted targeting”, di mana keputusan menembak diambil oleh sistem dalam hitungan detik setelah analisis data dilakukan secara otomatis. “Perang Rusia–Ukraina adalah laboratorium masa depan,” tulis The Economist. “Di sini, manusia dan mesin berperang bersama — dan kadang, mesin lebih cepat mengambil keputusan dibanding komandannya.”
Medan Kognitif: Saat Pikiran Jadi Target
Jika perang konvensional menargetkan tubuh, maka perang kognitif menargetkan pikiran.
Dimensi ini tampak jelas dalam cara Rusia dan Ukraina membentuk narasi di dunia maya.
Keduanya memanfaatkan machine learning dan bot army untuk memengaruhi opini publik global. Rusia dikenal mahir dalam operasi informasi (information warfare). Sejak awal invasi, Moskwa menggunakan ribuan akun otomatis untuk menyebarkan narasi pro-Rusia dan mendiskreditkan Ukraina. 
Ukraina membalas dengan strategi berbeda: mereka menggabungkan fakta di lapangan dengan pendekatan emosional, memanfaatkan citra Presiden Volodymyr Zelensky sebagai simbol perlawanan dan keberanian. AI berperan besar dalam proses ini. Sistem analitik media sosial digunakan membaca sentimen publik, memantau reaksi terhadap pesan, dan menyesuaikan narasi dalam waktu nyata (real-time). 
Setiap unggahan, setiap video, dan setiap pernyataan dianalisis untuk memastikan bahwa pesan yang disampaikan tetap selaras dengan emosi publik. “Perang kognitif tidak bertujuan menghancurkan infrastruktur, tetapi kepercayaan,” kata Anders Puck Nielsen, pakar strategi di Royal Danish Defence College. “Ketika masyarakat mulai meragukan informasi dan pemimpinnya sendiri, itulah saat sebuah negara kalah tanpa peluru.”
AI di Balik Serangan
Peran AI di medan perang tidak hanya sebatas analisis data atau propaganda digital. Sistem kecerdasan buatan kini digunakan langsung dalam operasi militer, mulai dari pengintaian, pengambilan keputusan, hingga serangan presisi. 
Ukraina, dengan dukungan teknologi Barat, memanfaatkan AI untuk menganalisis citra satelit dan menentukan lokasi artileri Rusia. Beberapa sistem bahkan mampu mengenali pola panas kendaraan atau pergerakan pasukan dari udara, lalu memberi rekomendasi target otomatis.
Rusia tidak tinggal diam. Mereka mengembangkan sistem pertahanan udara berbasis AI yang disebut “Serpukhov”, mampu mendeteksi drone kecil secara otomatis dan menembak tanpa intervensi manusia. 
Sementara sistem AI lain, yang terintegrasi dalam rudal Kalibr dan Iskander, digunakan untuk mempercepat proses penentuan sasaran. “AI kini adalah jantung operasi tempur Rusia,” tulis analis militer Inggris, Nick Reynolds, dari Royal United Services Institute (RUSI).
Cover dan Deception: Seni Baru Perang Modern
Istilah cover dalam konteks militer tradisional berarti kamuflase atau perlindungan. Namun, dalam konteks AI, cover berarti kemampuan menyembunyikan identitas digital, mengelabui sensor lawan, atau bahkan menipu sistem kecerdasan buatan milik musuh. Baik Rusia maupun Ukraina kini menggunakan adversarial AI, yakni algoritma yang dirancang untuk membingungkan sistem lawan. 
Contohnya, dengan memanipulasi citra digital agar drone lawan salah mengenali target, atau dengan menciptakan pola panas palsu agar sensor termal tidak mendeteksi pasukan sebenarnya.
“Cover bukan lagi tentang menyembunyikan tank di balik hutan,” kata Pavel Luzin, peneliti kebijakan militer Rusia. “Cover kini adalah permainan algoritma — siapa yang bisa membuat mesin lawan percaya pada hal yang salah.”
Di sisi lain, Ukraina menggunakan AI untuk mengidentifikasi propaganda digital Rusia dan memblokirnya sebelum sempat viral. Strategi ini disebut algorithmic counter-attack, yaitu perang defensif di ranah kognitif yang bertujuan mempertahankan integritas informasi.
Kecerdasan, Bukan Kekuatan
Dalam peperangan konvensional, kemenangan sering diukur dari jumlah pasukan atau kekuatan senjata. dalam perang modern, yang lebih penting adalah kecepatan dan kecerdasan sistem. AI memungkinkan pengambilan keputusan militer dalam hitungan detik. Sebuah drone, misalnya, dapat mengenali target, menilai ancaman, dan menyerang tanpa perlu menunggu perintah operator. Inilah yang disebut sebagai autonomous lethal weapon system — sistem senjata mematikan otonom. 
Banyak pihak menilai hal ini berbahaya. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) memperingatkan penggunaan senjata otonom dapat melanggar hukum kemanusiaan internasional jika tidak ada kendali manusia dalam prosesnya. Namun, di lapangan, batas antara kendali manusia dan algoritma semakin kabur. Rusia dan Ukraina sama-sama berargumen bahwa AI mereka tetap berada “di bawah pengawasan manusia”. 
Kenyataannya, sistem sering membuat keputusan sendiri ketika waktu sangat mendesak. Sebagaimana diakui seorang operator drone Ukraina kepada The Guardian: “Kadang kami tidak sempat memutuskan. Sistem sudah menembak.” 
Etika dan Ketidakpastian
Kemajuan AI dalam perang Rusia–Ukraina membuka perdebatan etika baru: Siapa yang bertanggung jawab jika sistem otonom menyerang sasaran sipil? Apakah algoritma dapat memahami konsep “proporsionalitas” dan “disengagement” sebagaimana diatur dalam hukum perang? Profesor Noel Sharkey dari University of Sheffield, salah satu pakar AI dan etika militer, menyebut dunia kini berada di “titik tanpa kepastian moral”. “Setiap perang yang melibatkan AI membawa kita lebih dekat pada delegasi keputusan etis kepada mesin,” ujarnya. 
Selain etika, ada kekhawatiran geopolitik: negara-negara lain akan meniru taktik ini. AS, Tiongkok, dan Israel telah mengamati perang ini dengan saksama untuk menilai efektivitas AI dalam pertempuran nyata. Jika hasilnya dianggap positif, perlombaan senjata AI global tidak dapat dihindari. 
Perang Siber dan Medan Bayangan
Selain medan fisik dan kognitif, perang Rusia–Ukraina juga berlangsung di dunia siber.
Rusia dikenal memiliki kemampuan siber yang kuat, sementara Ukraina mendapat dukungan dari aliansi IT Army — jaringan global sukarelawan digital. AI memainkan peran penting dalam perang siber ini. Sistem machine learning digunakan untuk mendeteksi pola serangan, menembus jaringan lawan, dan mengidentifikasi kerentanan sistem komputer militer. 
Sebaliknya, pihak bertahan menggunakan AI untuk mengenali upaya peretasan dan memperkuat pertahanan digital mereka. Menurut laporan Microsoft Threat Analysis Center (2023), lebih dari 40% serangan siber selama perang ini menggunakan komponen otomatisasi AI, baik untuk penyamaran identitas maupun serangan phishing skala besar. Konflik di dunia maya ini menandai perang masa depan tidak lagi memiliki garis batas yang jelas. 
Pergeseran Paradigma Perang
Perang Rusia–Ukraina menjadi titik balik dalam sejarah militer dunia. Dari perang ini, muncul kesadaran bahwa dominasi teknologi — bukan hanya kekuatan fisik — akan menentukan arah perang global di masa depan. Ada tiga pergeseran utama yang tampak jelas:
Pertama, dari Senjata ke Sistem: Fokus bukan lagi pada peluncur atau rudal, tetapi pada sistem terintegrasi antara sensor, data, dan AI.
Kedua, dari Komando ke Kecepatan: Pengambilan keputusan kini berpacu dengan waktu; siapa yang lebih cepat memproses informasi, dialah yang menang.
Ketiga, dari Fisik ke Kognitif: Perang tidak lagi hanya menghancurkan kota, tetapi juga menghancurkan persepsi dan kepercayaan publik.
Perang menjadi arena di mana otak manusia dan mesin berpadu — menciptakan simbiosis antara strategi dan algoritma. Sementara itu, ruang publik global menjadi “front ketiga” di mana narasi, informasi, dan citra dipertarungkan setiap hari.
Refleksi: Ketika Mesin Mulai Mengatur Perang
AI sejatinya diciptakan untuk membantu manusia berpikir, bukan menggantikan. Namun, perang Rusia–Ukraina memperlihatkan arah baru: mesin kini bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan aktor aktif di medan tempur. Drone otonom menyerang tanpa operator. Sistem pertahanan udara menembak tanpa perintah. 
Di dunia maya, algoritma melancarkan serangan siber dan propaganda secara simultan. Semuanya berjalan cepat — terlalu cepat untuk manusia mengendalikannya sepenuhnya.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan filosofis. Apakah manusia masih memegang kendali atas perang yang diciptakannya? Atau, seperti dikatakan Yuval Noah Harari, “Apakah kita sedang menyaksikan momen ketika algoritma mulai menulis sejarahnya sendiri?” 
Perang Rusia–Ukraina mungkin bukan hanya konflik geopolitik, tetapi juga konflik eksistensial antara manusia dan ciptaannya sendiri. Sebuah perang yang tidak hanya menguji kekuatan militer, tetapi juga menguji batas kemanusiaan.
Penutup
Di medan perang yang kini lebih banyak diatur oleh data, sensor, dan kecerdasan buatan, kemenangan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling cerdas dan adaptif. Perang Rusia–Ukraina memperlihatkan kepada dunia bahwa masa depan konflik global akan terjadi dalam ruang yang tak kasat mata — di mana pikiran, persepsi, dan algoritma menjadi senjata paling berbahaya. Ketika mesin mulai belajar berpikir dan manusia bergantung padanya, maka garis antara teknologi dan etika menjadi semakin tipis. Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia harus belajar bagaimana “mengatur perang” sebelum mesin yang mengatur kita.

Leave a Reply