
Oleh: Dr. Giri Susilo HJP, MM
(Human Capital Development Expert)
Partai politik Islam di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dari masa pergerakan nasional hingga era Reformasi. Awalnya, Sarekat Islam (1912) menjadi pionir dalam menggabungkan semangat keagamaan dan perjuangan politik melawan kolonialisme. Setelah kemerdekaan, Masyumi muncul sebagai kekuatan utama, mengusung persatuan umat Islam dalam politik nasional, hingga dibubarkan pada 1960.
Orde Baru membatasi politik Islam dengan melebur semua partai Islam menjadi PPP (1973), yang menjadi satu-satunya kendaraan politik berbasis Islam hingga 1998. Reformasi membuka kembali ruang kebebasan politik, melahirkan berbagai partai Islam dengan ragam orientasi, dari yang ideologis hingga yang berbasis massa Islam kultural. Meskipun pengaruh elektoral partai Islam fluktuatif, mereka tetap memainkan peran penting dalam membentuk wacana politik nasional.
Ada beberapa alasan historis, sosiologis, dan politis, mengapa partai-partai Islam di Indonesia tidak pernah meraih suara mayoritas, meskipun Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim.
Keragaman identitas politik umat Islam. Islam Indonesia itu majemuk, masih ada perbedaan antara kelompok Islam tradisional (NU), modernis (Muhammadiyah), dan kelompok-kelompok kecil dengan orientasi politik yang berbeda. Perbedaan orientasi ini membuat umat Islam tidak terkonsolidasi dalam satu partai besar, tapi tersebar di banyak partai.
Tradisi politik nasionalis yang kuat. Sejak awal kemerdekaan, tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir membentuk partai nonagama yang juga mendapat dukungan luas dari umat Islam. Banyak pemilih Muslim merasa nyaman memilih partai nasionalis selama mereka tidak bertentangan dengan nilai agama.
Politik orde baru dan warisannya. Selama Orde Baru (1973–1998), partai Islam dilebur menjadi PPP dan diawasi ketat, sementara Golkar mendominasi pemilu. Pola ini menanamkan kebiasaan politik lintas agama, sehingga pasca-Reformasi pun pemilih tidak otomatis menganggap partai Islam sebagai satu-satunya pilihan.
Isu politik lebih dari sekadar agama. Banyak pemilih memilih partai berdasarkan isu ekonomi, sosial, kesejahteraan, lingkungan, keseteraan dan figur calon, bukan ideologi agama. Partai nasionalis pun sering mengusung program yang pro-umat Islam, membuat perbedaan dengan partai Islam menjadi kabur di mata pemilih.
Fragmentasi partai politik Islam. Pasca-1998, partai politik Islam terbagi menjadi banyak: PKB, PAN, PKS, PBB, PNU dan lain-lain. Fragmentasi ini membuat suara umat terpecah sehingga tidak ada satu partai yang dominan.
Persepsi publik terhadap politik identitas. Sebagian pemilih khawatir politik identitas akan memicu ketegangan antaragama atau antar kelompok di Indonesia. Persepsi yang ada ini membuat sebagian pemilih muslim lebih memilih partai nasionalis sebagai jalan Tengah yang dianggap aman.
Max Weber
Teori “Theodicy of Disprivilege” dicetuskan oleh Max Weber, seorang sosiolog dan filsuf Jerman, dalam karyanya tentang sosiologi agama. Konsep ini merupakan bagian dari analisis Weber mengenai bagaimana agama digunakan untuk menjelaskan atau membenarkan ketidakadilan sosial, khususnya penderitaan atau ketidakberuntungan kelompok tertentu dalam Masyarakat.
Apa korelasi antara Teori Theodicy of Disprivilege Max Weber dengan partai politik Islam di Indonesia? Fenomena di Indonesia ini dapat dilihat melalui bagaimana partai politik Islam lebih sering menggunakan narasi religius atau justifikasi kultural untuk mempertahankan dukungan dari kelompok marginal, sekaligus melanggengkan ketidaksetaraan sosial seolah demi kepentingan bangsa dan partai politik itu sendiri. Kondisi ini menyebabkan terjadi legitimasi ketidakadilan sosial melalui narasi agama. Beberapa partai politik Islam di Indonesia memanfaatkan doktrin agama untuk menenangkan kelompok bawah agar mereka menerima apapun kondisi yang dialami sebagai sebuah takdir perjuangan dakwah dan tidak menuntut perubahan struktural.
Data historis menunjukkan sejak munculnya asal muasal partai politik Islam, fenomena narasi ini sudah turun temurun dan masih terjadi sampai sekarang. Pola komunikasi satu arah di Partai politik Islam semakin menyimpulkan bahwa suara bawah itu hanya menjadi bahan dasar formula seremonial menjelang pesta demokrasi saja, setelah usai hanya menjadi catatan dalam lembaran-lembaran kertas tanpa makna. Suara konstituen level bawah bahkan nyaris tidak pernah tersentuh dalam setiap kebijakan, sehingga sering kebijakan yang muncul justru menambah penderitaan masyarakat.
Partai Politik Islam lebih sering menekankan kepada konstituennya dalam perjuangan dengan konsep bahwa perjuangan politik itu harus sabar, percaya takdir atau akan mendapat pahala akhirat. Narasi lain dari partai politik Islam yang selalu muncul adalah “ini ujian dari Allah” atau “dalam berpolitik hidup sederhana lebih mulia”, atau “perjuangan dunia penting tetapi kemenangan akhirat lebih penting”, atau “Perjuangan kader dakwah tidak pernah kalah di mata Allah”, bisa digunakan untuk meredam kekecewaan konstituen terhadap ketidakadilan dan ketimpangan kebijakan. Bahkan muncul narasi lain, kelompok bawah selalu diingatkan untuk “tidak boleh iri pada rezeki orang lain” (sebagaimana dalam beberapa ceramah agama), sehingga tidak mempertanyakan kekayaan elite di partai politik Islam.
Tetapi ironisnya para pemimpin partai politik Islam atau politisi kelas atasnya sering terlihat gamblang berebut kekuasaan, berebut jabatan dan bahkan tidak malu untuk pamer hidup dalam kemewahan dihadapan para konstituennya yg sederhana. Elite politik yang korup tapi rajin beribadah, menyumbang modal kegiatan keagamaan malah sering mendapat pembelaan dengan dalih “manusia boleh salah, hanya Allah yang sempurna”.
Weber menjelaskan bahwa agama sering dipakai untuk memberi “kompensasi simbolis” bagi kaum tertindas. Di Indonesia, partai politik memanfaatkan narasi ini agar konstituen tingkat bawah tetap loyal, meski kebijakan partai tidak benar-benar mengubah nasib mereka.***
Leave a Reply