Mulai 3 Juli, Saksikan Kisah Cinta Petani Dalam Film “Seribu Bayang Purnama”

JAKARTA, SP – Film layar lebar Seribu Bayang Purnama mulai tayang di Bioskop Platinum Cineplex mulai 3 Juli 2025. Kisah film ini menyoroti perjuangan petani menghadapi tantangan berat yang sering luput dari perhatian masyarakat perkotaan.

“Kami sampaikan bahwa bersamaan dengan webinar hari ini, kami juga mengajak seluruh peserta untuk menyaksikan film Seribu Bayang Purnama tentang petani dengan nuansa percintaan,” tutur Joao Mota selaku Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, Kamis (3/7/2025) di sela-sela webinar Masyarakat Singkong Indonesia (MSI).

Selain Joao, webinar yang diikuti sekitar 500 peserta dan praktisi singkong se-Indonesia ini juga menghadirkan narasumber Dr Fuad Gani SS, MA selaku Wakil Direktur Sekolah IImu Lingkungan Univ Indonesia (SIL-UI), dan Kukuh Sujianto yang juga Ketua DPP MSI Bidang Budidaya sekaligus praktisi singkong di Sukabumi, Jawa Barat. Kegiatan diskusi online dipandu Heri SS selaku Sekjen DPP MSI yang juga inisiator media dan pusat data Kabarpangan.com.

Joao Mota merupakan produser eksekutif film tersebut menyampaikan film Seribu Bayang Purnama sudah mulai tayang di bioskop dengan sutradara Yahdi Jamhur, seorang jurnalis dan pembuat film dokumenter. Seribu Bayang Purnama menghadirkan kisah mendalam tentang kehidupan petani di pedesaan Indonesia. Mengambil latar di pedesaan Bantul, Sleman, Yogyakarta, film ini menyuguhkan potret autentik kehidupan petani yang dipenuhi perjuangan, harapan, dan cinta. Semuanya dibalut dalam drama keluarga dan konflik sosial yang menyentuh.

Seribu Bayang Purnama menggambarkan realitas pahit yang dialami petani, mulai dari sulitnya mendapatkan modal hingga jeratan utang kepada rentenir akibat tingginya harga pupuk dan pestisida kimia. Kondisi ini membuat para petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

Diketahui, ide cerita film ini terinspirasi dari kisah sukses seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mempelopori Metode Tani Nusantara. Metode ini menawarkan cara bertani alami yang hemat biaya, tanpa bergantung pada pupuk atau pestisida kimia.

Namun, upaya membawa metode ini ke desa yang telah terbiasa dengan bahan kimia bukanlah hal mudah. Konflik dengan juragan pupuk pabrikan menjadi tantangan utama, yang diperparah dengan kisah cinta penuh dilema antara Putro, tokoh utama, dengan Ratih, putri dari keluarga rivalnya.

Putro Hari Purnomo, yang diperankan oleh Marthino Lio, adalah seorang pemuda yang kembali ke desanya di Yogyakarta setelah merantau ke kota. Ia bertekad menggerakkan para petani di desanya untuk menerapkan metode pertanian alami yang diwarisi ayahnya. Namun, niat mulia ini menghadapi banyak rintangan, termasuk kompetisi dengan keluarga rival yang sudah lama berkuasa di desa.

Di tengah perjuangannya, Putro menghadapi konflik batin saat dia mulai jatuh hati pada Ratih (Givina), pemilik toko pupuk kimia dan anak dari saingan lama keluarganya. Dalam kondisi ini, ia terus berusaha membuktikan bahwa pertanian alami bisa menjadi solusi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat desa.

Film ini memperlihatkan keindahan alam pedesaan Yogyakarta melalui gambar sinematik yang eksotis, mengingatkan penonton akan akar budaya Indonesia. Ditulis oleh Swastika Nohara, penulis skenario peraih Piala Maya, “Seribu Bayang Purnama” menggabungkan alur cerita yang emosional, konflik yang kuat, dan pesan sosial yang mendalam.

“Film ini didedikasikan untuk para petani yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa. Bahkan, seluruh keuntungan dari tiket film ini akan digunakan sepenuhnya untuk program pemberdayaan petani,” ungkap Yahdi Jamhur belum lama ini.
Dia berharap film ini dapat menginspirasi generasi muda untuk melihat bertani sebagai pilihan hidup yang bermartabat. [HS/KP]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*