BRIN Dokumentasikan Aneka Masakan Sega untuk Dukung Ekonomi Kreatif

Berbagi makanan sahur kepada pedagang di Pasar Ujung Berung, Bandung.

JAKARTA, SP – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat dan mendokumentasikan ada 63 masakan sega atau nasi terdeskripsi sebagai identitas budaya Indonesia dalam bidang kuliner dan potensial untuk mendukung pengembangan ekonomi kreatif.

“Sega bukan hal yang asing di telinga orang Indonesia. Menjelajahi ragam nasi khas Indonesia dan berbagai daerah merupakan hal yang menarik,” kata Kepala Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN Ade Mulyanah di Jakarta, Rabu (3/4/2024).

Dia menjelaskan, sebanyak 63 masakan sega yang terdeskripsi itu, di antaranya sega bakar, sega liwet, sega kucing, sega ningrat, sega gurih, sega lulut, hingga sega berkat. Selain masakan sega yang terdeskripsi, BRIN juga mencatat ada masakan sega yang memiliki sub-varian berupa sega kuning, berkat, megana, dan tumpeng.

Kemudian banyak pula masakan sega yang ditemukan tetapi belum terdeskripsikan, antara lain sega kulup pe, sega thewel, sega seredan, sega tempong, sega penggel, sega grombyang, sega ruwet, sega jamblang, hingga sega krawu.
Ade menjelaskan, makanan Indonesia memang tidak lepas dari elemen nasi. Nasi bukan sekedar bahan makanan melainkan sebuah simbol keragaman, persatuan, dan kehidupan sehari-hari dalam budaya Indonesia.
Bahkan orang rela untuk tidak pindah kewarganegaraan karena menyatakan tidak bisa menghilangkan nasi.

“Tentu ini menjadi suatu hal yang luar biasa bisa mengaitkan antara indentitas kebangsaan. Nasi tidak hanya menjadi pilihan utama tetapi juga dianggap sebagai bagian esensial dalam berbagai hidangan,” katanya.
Dalam berbagai riset BRIN, nasi dari berbagai suku dan etnis di Indonesia menjadi pusat hidangan dengan berbagai nama dan ragam yang bisa menjadi sesuatu yang tidak hanya dinikmati publik sebagai makanan, tetapi berimplikasi terhadap ekonomi kreatif.

Ade berharap riset tentang nasi dapat berkontribusi pada peningkatan berbagai bisnis yang menggunakan nasi sebagai komoditas UMKM.
Sega merupakan beras yang sudah dimasak dengan cara ditanak atau dikukus yang menghasilkan sega liwetan dan sega dag-dangan. Alat penanak nasi liwetan adalah ketel atau periuk, sedangkan penanak nasi dang adalah kukusan dan dandang.
Sega merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, kecuali masyarakat Papua dan beberapa daerah lain yang mengonsumsi sagu dan jagung.
Sebagai suatu sajian atau menu, makanan sega ditemani oleh lauk dan sayur.
Dari situlah muncul nama-nama aneka masakan berunsur utama sega dengan berbagai variasi sayur dan lauk, penyajian, pengemasan, serta fungsi (konsums keseharian, kesehatan, ritual budaya, dan sebagainya).

Peneliti Lingungistik BRIN Wiwin Erni Siti mengatakan, saat ini beberapa masakan sega jarang ditemukan, bahkan sudah tidak ditemukan (sega lulut, sega cemedhing, sega krawu, sega sawut, sega kepyar, sega kopyor).
Meski demikian, ada masakan keseharian, kuliner atau budaya yang masih bisa dinikmati hingga kini, seperti sega goreng, sega kuning, sega liwet, sega rames, dan sega tumpeng. Namun, sega tumpeng yang diketahui masyarakat sekarang tidak selengkap dulu.

Direktur Pemanfaatan Riset dan Inovasi pada Kementerian/Lembaga, Masyarakat, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah BRIN Dadan Nugraha menerangkan bahwa beras tidak hanya terkait dengan urusan pangan atau urusan perut semata, tetapi erat kaitannya dengan berbagai pelaksanaan ritual adat. Beras sudah dikenal turun temurun dan menjadi tradisi baik saat proses kelahiran, pernikahan, kehamilan atau bahkan kematian.

“Ada pengetahuan kearifan lokal yang tersirat dalam berbagai jenis olahan pangan berbasis sega khususnya yang juga menjadi potensi dalam pengembangan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal,” kata Dadan seperti dilansir Antara.

Dia menyayangkan saat ini dengan semakin berkembangnya zaman banyak olahan-olahan sega yang dulu dikenal turun-temurun secara tradisional sudah mulai tidak dikenal atau tidak digemari lagi terutama oleh generasi muda. Kondisi itu berpotensi mengikis kesinambungan nilai-nilai kearifan lokal yang tersirat dalam sebuah olahan sega yang sebenarnya menjadi pedoman bagi sebuah komunitas atau kelompok masyarakat dalam menjalankan kehidupan. [SP-3]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*