Oleh Heri Soba (alumnus IPB, editor, dan mitra Papua Muda Inspiratif 2022-2023)
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan negara yang intens mengimpor pangan. Mulai dari beras, jagung, daging sapi, susu, garam hingga beberapa produk olahan pangan lainnya. Belakangan ada kabar impor tapioka, sebagaimana beberapa tahun lalu untuk industri. Demikian juga bahan baku industri makanan dan minuman (mamin) yang sudah lama tergantung dari impor. Catatan Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) impor bahan baku industri terus meningkat. Tentu asal muasal bahan baku industri mamin tersebut dari berbagai komoditas pertanian.
Impor merupakan solusi jangka pendek menjaga ketersediaan pangan dalam negeri. Apalagi dunia dilanda krisis pangan akibat iklim, perang, dan berbagai persoalan lain. Dalam jangka panjang, impor bukan merupakan langkah yang baik. Situasi global saat ini memang cukup rumit. Beberapa negara yang selama ini pengekspor pangan, khususnya gandum dan beras, justru berhenti ekspor untuk menjaga stok dalam negeri. Berbagai negara pun berlomba-lomba mencari ketersediaan pasokan pangan. Sebagian besar ekspor gandum dari negara-negara Eropa semakin dibatasi, kemudian India, Thailand, dan Vietnam yang biasanya punya stok beras pun mengurangi kuota ekspor.
Kamboja yang selama ini bisa dikatakan belum masuk radar pengekspor pangan, mulai dilirik berbagai negara lain. Jika selama beberapa dekade lalu, Thailand dan Vietnam jadi sumber beras impor, maka per awal September 2023 lalu, Indonesia akhirnya mendatangkan 250.000 ton beras dari Kamboja. Impor pangan merupakan hal yang biasa untuk Indonesia. Tapi mendatangkannya dari Kamboja yang pernah dipimpin rezim Pol Pot justru perlu menjadi perhatian. Dua pekan lalu, di sela-sela agenda ASEAN di Australia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Manet. Keduanya membahas beberapa hal dan salah satunya Indonesia meningkatkan impor beras dari Kamboja.
Sekitar tahun 2008, ketika menghadiri sebuah konferensi jurnalis Asia, penulis pernah berkunjung ke beberapa kawasan sekitar Pnom Penh. Sisa-sisa kekejaman Khmer Merah masih menghiasi beberapa sudut kota dan belum ada yang begitu menonjol dari pembangunan Kamboja saat itu. Kamboja mulai menggeliat dalam satu dekade terakhir. Hal itu bersamaan dengan keseriusan pemerintah dan meningkatnya investasi dalam segala lini, termasuk sektor pangan.
Beberapa hari setelah keputusan impor beras dari Kamboja, media nasional menulis dengan judul “RI Makin Tertinggal! Kamboja Siap Jadi Raja Beras di ASEAN”.
Ada media lainnya mengulas dengan tulisan “Swasembada Beras: India Curi Ilmu Soeharto, Kamboja Salip RI”. Mungkin saja, negara dengan 17 juta penduduk tidak serumit mengurus 260 juta penduduk di Indonesia. Apalagi jika raja Kamboja sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan memiliki kesamaan visi. Hal yang sama juga bisa dilihat dengan sistem kerajaan di Thailand dan sistem sosialis-komunis di Vietnam. Jangan-jangan urusan pangan atau pertanian dalam arti luas memang perlu sistem komando.
Apapun alasannya, impor secara umum tentu menguntungkan negara produsen. Kecuali ada perjanjian sehingga ada kebijakan saling mengimpor dengan komoditas berbeda. Misalnya, Indonesia impor beras kemudian negara lain mendatangkan komoditas non-beras dari Indonesia. Analogi sederhana lain dari impor pangan adalah konsumen Indonesia menopang produsen negara eksportir. Dalam impor gandum, ratusan juta konsumen Indonesia sebenarnya menjadi berkah bagi puluhan ribu petani gandum Eropa yang sudah sangat mandiri. Apalagi, produsen gandum tersebut mendapatkan insentif dan subsidi dari negaranya masing-masing.
Dengan ekspor melimpah ke negara-negara importir maka aktivitas pertanian dari negara-negara eksportir pun berkembang. Produksi berjalan lancar dan usaha pertanian semakin menguntungkan. Salah satu dampaknya, pertanian menjadi sektor yang menarik karena memberikan kesejahteraan dan kepastian masa depan. Orang-orang muda pun tertarik dalam pertanian karena kebijakan dan iklim usaha yang mendukung.
Meskipun belakangan, subsidi yang begitu besar kepada petani-petani di Eropa berangsur dikurangi dan ada sejumlah revisi kebijakan. Tidak heran jika sepanjang Januari hingga Februari 2024 lalu, ratusan petani di Eropa, termasuk petani muda melakukan aksi demo yang mengarah anarkis. Salah satu motornya adalah Asociación Agraria de Jóvenes Agricultores (Asosiasi Petani Muda Spanyol/Asaja) bersama organisasi petani lainnya memprotes kebijakan-kebijakan Uni Eropa.
Menurun
Di Indonesia, regenerasi petani ini merupakan persoalan serius, bahkan sudah masuk dalam kondisi darurat. Padahal, masa depan sektor pertanian sangat ditentukan oleh petani. Saat ini, Indonesia dihadapkan dengan kendala menurunnya jumlah petani dan rendahnya minat generasi muda untuk berprofesi sebagai petani. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani Indonesia mengalami penurunan sebanyak 7,42%, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023.
Fakta lain menyebutkan bahwa profil petani didominasi oleh petani yang berusia tua. Sebanyak 42% petani Indonesia merupakan generasi X, yang berusia 43–58 tahun. Jumlah petani berusia 55–64 tahun meningkat 3,29% dan petani berusia di atas 65 tahun naik 3,4% dalam sepuluh tahun terakhir. Bertolak belakang dengan fakta di atas, jumlah petani milenial cenderung menurun. Dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi petani berusia 25–34 tahun turun 1,73% menjadi 10,24%, dan proporsi petani berusia 35–44 tahun turun sebanyak 4,34% menjadi 22,0%.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) pada tahun 2021 lalu pernah memperkirakan Indonesia tak ada lagi profesi petani pada tahun 2063. Data Bappenas menunjukkan pada tahun 1976 proporsi pekerja Indonesia di sektor pertanian mencapai 65,8 persen. Namun, di 2019 turun signifikan menjadi hanya 28 persen. Para pekerja sektor pertanian telah beralih profesi ke sektor lain. Ini tecermin dari sektor jasa yang proporsi pada 1976 sebesar 23,57 persen menjadi sebesar 48,91 persen di 2019.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan para pemuda atau generasi milenial enggan terjun ke dunia pertanian primer. Kuat dugaan karena sektor pertanian/pangan kurang menjanjikan, kecuali hortikultura yang dianggap sebagai komoditas eksklusif. Fenomena semakin menurunnya minat tenaga kerja muda yang bekerja di sektor pertanian dapat berdampak pada keberlanjutan pertanian, padahal beban sektor ini semakin berat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan pangan di masa depan (Susilowati 2016; Ilyas 2022).
Selain itu, profesi petani dianggap tidak menguntungkan dan tidak membanggakan. Generasi muda lebih tertarik mencari pekerjaan di kota dan tidak kembali lagi sehingga lahan-lahan pertanian di pedesaan kehilangan tenaga kerja muda. Akhirnya yang tersisa adalah petani dengan usia semakin menua.
Program YESS
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, Dedi Nursyamsi, pernah menjelaskan agar pertanian tetap diminati maka salah satu yang perlu diperhatikan adalah aktivitas yang harus tetap untung. Jangan sampai para petani yang sudah bersusah payah menanam, ketika panen harga anjlok sehingga merugi dan akhirnya malas bertani. Kalau pertanian ditinggalkan oleh petani maka itu berarti jasad ditinggalkan oleh roh alias mati. “Agar regenerasi petani tidak mati, ada perubahan dari yang tua ke muda, maka agribisnis perlu untung. Untuk itu, jangan sampai menggunakan pola-pola tradisional dan perlu mendorong agribisnis menjadi wirausaha muda petani,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Apa yang disampaikan diatas merupakan salah satu cara agar pertanian tetap diminati generasi muda. Setidaknya ada kepastian masa depan dan jaminan kesejahteraan dalam pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan atau aktivitas terkait lainnya. Pemerintah harus mempunyai sejumlah kebijakan dan program yang bisa meningkatkan minat generasi muda pada sektor pertanian. Tentu ada sejumlah tantangan dan perlu terobosan agar target penumbuhan wirausaha muda semakin optimal. Salah satunya Program Youth Enterpreneurship And Employment Support Services (YESS) yang merupakan kerja sama Kementerian Pertanian melalui BPPSDMP dengan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Saat ini ada 4 provinsi dan 19 kabupaten yang menjadi sasaran Program YESS dan sudah memasuki tahun ke-4 dari rencana program lima tahun, mendapat respons yang cukup baik.
Selain Program YESS, ada beberapa program lain dan sejumlah inisiatif yang muncul karena keprihatinan atas krisis petani muda. Potensi lahan di seluruh wilayah Papua yang sangat luas sebenarnya bisa mengatasi krisis pangan Indonesia dan sekaligus ajang generasi muda untuk berkiprah, maka tercetuslah gerakan Papua Muda Inspiratif (PMI). Inisiatif ini dari anak-anak muda yang pernah mengenyam pendidikan di luar Papua bahkan di luar Indonesia, kemudian difasilitasi dan membangun kerja sama dengan sejumlah mitra swasta. Selain pertanian/pangan, PMI juga menggarap sejumlah agenda lain yang diminati para milenial, seperti teknologi, desain grafis, hingga wirausaha lainnya.
Sayangnya, gagasan besar dalam pertanian/pangan itu minim dukungan dari sejumlah pihak terkait, terutama beberapa kebijakan dan hal mendasar yang harus ditangani pemerintah pusat dan daerah.
Harapan agar pemerintah provinsi dan kabupaten di wilayah Papua bisa melanjutkan inisiatif tersebut sepertinya sulit. Payung kebijakan yang minim dan tidak banyak pimpinan daerah yang punya visi sejenis juga menjadi tantangan. Hal ini berbeda dengan inisiatif beberapa kabupaten di Pulau Jawa yang sangat perhatian dengan regenerasi petani, seperti Pemkab Banyuwangi dan Pemkab Pacitan di Jawa Timur, kemudian Pemerintah Kota Semarang di Jawa Tengah dan beberapa di Jawa Barat.
Inisiatif lainnya juga muncul dari Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) melalui Program Youth Led Agri Food yang baru diluncurkan. Sekalipun tidak semasif IFAD, Plan Indonesia sudah memulai program dengan beberapa mitra swasta sebagai kelanjutan dari Program Green Skill Project tahun 2020 lalu.
Selain IFAD dan Plan Indonesia, Badan Pangan Dunia (FAO) pun tidak ketinggalan karena sudah mempunyai beberapa program terkait regenerasi dan pangan dunia. Pertengahan Januari 2024 lalu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko dan FAO Representative Indonesia and Timor Leste Rajendra K Aryal menandatangani Technical Cooperation Program untuk mendorong petani muda. Selain KSP dan FAO, proyek awal (pilot project) ini didukung juga Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta mengajak Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Gerakan Pramuka.
Selain program dan inisiatif diatas, masih ada beberapa agenda dari kelompok masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun pihak swasta yang punya perhatian pada isu petani muda. Salah satu yang sudah berjalan cukup lama adalah yang dilakukan International Association of Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) atau organisasi mahasiswa terbesar di dunia di bidang pertanian dan ilmu terkait. IAAS secara rutin tiap tahun menggelar International Conference of Youth in Agriculture (ICYA). ICYA 2024 berlangsung di Yogyakarta, Sabtu (24/2/2024) lalu dengan agenda membahas keberlanjutan masa depan pertanian berada di tangan generasi muda. Menariknya, salah satu penopang IAAS ini adalah perusahaan multinasional, yakni Bayer. Dalam beberapa program implementasinya, IAAS ini mengarahkan para pemuda yang mau terlibat untuk bersinggungan dengan produk obat-obatan pertanian dan pestisida dari Bayer. Hal semacam ini perlu disepakati bersama agar kolaborasi agenda regenerasi pertanian tetap menjadi prioritas dan lebih melihat kepentingan yang lebih besar.
Indonesia sepertinya perlu belajar banyak dari Kamboja. Jangan-jangan, dibalik kesuksesan menjadi pengekspor beras dan beberapa komoditas pertanian lainnya, Kamboja punya hal-hal menarik dalam regenerasi pertanian. Entah kebijakan, keberpihakan, komitmen pemimpin negara, insentif, hingga faktor-faktor pendukungan lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan di Indonesia, tetapi belum menjadi kesadaran bersama secara nasional. (***)
Leave a Reply