JAKARTA, SP – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mulai membekali Tim Pendamping Keluarga (TPK) untuk melakukan deteksi secara dini setiap faktor risiko pada anak-anak yang terkena stunting.
“TPK yang dibentuk berdasarkan amanat Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting itu, tugasnya melaksanakan pendampingan kepada calon pengantin, calon pasangan usia subur dan keluarga berisiko stunting,” kata Kepala Perwakilan BKKBN Bangka Belitung Fazar Supriadi Sentosa dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (18/2/2023).
Dalam tugasnya, kata Fazar, TPK perlu secara rutin melakukan penyuluhan, memfasilitasi pelayanan rujukan pada keluarga berisiko stunting dan memfasilitasi penerimaan program bantuan sosial. BKKBN menggelar Pelatihan Tim Pendamping Keluarga bagi Fasilitator Tingkat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2023 di Fox Hotel Pangkal Pinang yang digelar pada 14-15 Februari 2023. Tujuannya membekali ilmu surveilans yang merupakan kegiatan pengamatan sistematis, dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian stunting atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya prevalensi stunting. Setelah memperoleh dan memberikan informasi, TPK akan mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
Sebelumnya, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo pangan lokal bisa menjadi langkah antisipasi setiap keluarga untuk mencegah stunting pada anak saat menghadapi krisis kemarau.
“Makanya pendidikan pembelajaran dan sosialisasi (mengenai pencegahan stunting melalui panganan lokal) itu penting,” katanya seperti dikutip Antara.
Menanggapi adanya prediksi memasuki kemarau yang lebih kering, Hasto menuturkan pangan lokal yang murah bisa menjadi suatu alternatif dalam mencegah stunting.
Sebagai negara adidaya pangan, Indonesia bisa mengakali kemarau yang kemungkinan menyebabkan krisis pangan di sejumlah daerah dengan pangan lokal lainnya yang relatif baik untuk dikonsumsi oleh anak.
Ia mencontohkan kekeringan menyebabkan beras menjadi langka, maka masyarakat bisa mengakalinya dengan memakan singkong sebagai pemenuhan karbohidrat. Ia mengingatkan keluarga untuk tidak terpaku pada makanan instan seperti mi untuk mengenyangkan perut anak.
Menurut Hasto, setiap keluarga perlu mengubah pola pikirnya untuk tidak berfokus pada makanan instan yang lebih mudah diolah meski mempunyai pekerjaan yang padat.
Maka dari itu, ia menyarankan agar orang tua menyediakan waktunya sedikit untuk belajar mengolah pangan lokal sebagai Makanan Pendamping ASI (MPASI). Salah satunya belajar membuat bubur atau memasak makanan yang mengandung protein hewani dengan harga yang murah dan mudah didapat seperti telur, ikan semacam lele atau kembung dan daging ayam. [SP]
Leave a Reply