Oleh: P. Peter Than , SVD
Era “doctor universalis”—tahu sedikit tentang yang banyak- dianggap sudah usang. Yang kita rayakan kini adalah era “doctor spesialis”—tahu banyak tentang yang sedikit. Di mana-mana, dari urusan toilet hingga istana negara, yang didengar adalah suara-suara para ahli/ilmuwan yang disebut “fachidiot”.
Apa itu fachidiot? Istilah ini adalah istilah Jerman, yang kedengarnya kurang ajar (kurang sopan), tetapi lebih ringkas dan efektif untuk menggambarkan “seseorang yang amat hebat dan ahli dalam satu bidang ilmu atau keterampilan, namun buta dengan bidang-bidang lain yang lebih luas serta bersikap indiferen (tidak peduli) dengan keadaan di sekitarnya”.
Fach adalah kompartmen (bagian kecil) dari satu perabot yang lebih besar (seperti sebuah laci kecil pada lemari baju Anda). Dalam arti figuratif (kiasan), berarti ranting pengetahuan khusus dari seluruh pohon besar pengetahuan. Yang dimaksud tentu saja adalah spesialisasi dalam ilmu pengetahuan. Idiot tidak dalam arti “moral” yang merendahkan, melainkan dalam pengertian “buta, tidak tahu atau tidak mau tahu”.
Jadi “fachidiot” melukiskan seseorang dengan basis pengetahuan atau keterampilan khusus, tetapi dengan itu, tidak berhubungan dengan bidang pengetahuan lain atau dunia yang lebih luas di luar lingkup kehebatan mereka.
Baik atau buruk fachidiot itu? Baik di satu sisi, tidak di sisi lain. Kita hidup dalam suatu dunia yang terhubung satu sama lain. Untuk mendapat kebenaran obyektif tentang suatu realitas secara menyeluruh, bukan hanya bagian-bagian, kita memerlukan banyak sudut pandang. Artinya perlu “jaringan paradigma” untuk merajut sebuah horizon kebenaran tentang suatu realitas atau gejala.
Di situlah kelemahan para ilmuwan “fachidiot”. Bukan soal bahwa mereka amat hebat menguasai suatu bidang tertentu, dan karena itu, suaranya perlu didengar sebagai suara ahli oleh para pembuat kebijakan misalnya. Hebat dalam bidang tertentu secara praktis pasti amat berguna.
Soal terbesarnya adalah pendekatan “fachidiot” atas suatu realitas atau masalah, bisa menjadi pendekatan yang tertutup. Apalagi jika masalah itu bersifat multi-segi, dalam arti, tak cukup diselesaikan hanya dengan suara tunggal seorang ilmuwan dari satu bidang ilmu atau keahlian tertentu.
Jika para ilmuwan “fachidiot” bersikeras dengan diri mereka sendiri atau dengan pikiran-pikiran, angka-angka, data statistik dan penemuan-penemuan mereka, maka sudah bisa dipastikan bahwa kesadaran atau minat mereka pada perspektif, gambaran, dan kontribusi orang lain di luar bidang keahlian mereka sangat kurang atau nihil.
Selalu ada potensi “fachidiot” dalam diri kita semua (apalagi dalam diri mereka yang menyebut dirinya sebagai “kaum pintar”-akademisi). Setiap kita cenderung merasa aman dalam potongan kecil, kompartemen atau “laci sumpek” kebenaran sendiri, dan karena itu, ada alasan untuk tidak tertarik dengan arus luas realitas dan kebenaran yang ada di sekitar kita.
Dengan kata lain, menjadi “fachidiot” adalah jalan simpang antara “menyelam ke dasar terdalam danau kecil milik kita sendiri” atau “memegang fanatisme buta yang membuat kita terisolasi dari horizon kebenaran mahaluas”. Memuliakan “fachidiot” juga berarti memuliakan “fanatisme berpikir yang kerdil dan sempit”.
Fachidiot perlu dicurigai, bahkan dikasihani. Mengapa? Seperti halnya sebagian air yang menjauh dari aliran besar sungai, membentuk genangan kecilnya sendiri, lalu menjadi kotor dan amat berbau, demikianpun seorang ilmuwan “fachidiot” akan terkubur dan busuk dalam benteng kehebatan dan keahliannya yang tertutup. Jika pengetahuan kita terisolasi dari horizon kebenaran yang lain yang ada di luar lingkup kehebatan kita, maka kita mudah jadi fanatik, narsis dan pongah.
Kepongahan intelektual adalah bahaya dalam kehidupan bersama. Jika Anda sempat membaca buku “The Tyranny of Merit” (2020) yang ditulis Michael Sandel (filsuf politik AS), Anda akan menemukan di sana pernyataan “serangan populis dan krisis demokrasi di negara-negara maju dipicu oleh kebencian terhadap kepongahan intelektual para akademisi liberal yang berkolaborasi dengan politik teknokratis.”
Menurut Sandel, api kebencian yang membara itu datang dari orang-orang yang selama ini tidak dihargai karena dianggap sebagai “kaum bodoh”—yaitu para buruh yang tidak memiliki “gelar sarjana”.
Meski ketidakadilan rasial dan gender sedikit demi sedikit berhasil dikurangi, menurut penulis buku ini, masih ada satu jenis diskriminasi luar biasa yang jarang disorot dalam politik liberal yaitu “the great injustice of the smart and the dumb”—diskriminasi antara mereka yang dianggap ‘kaum pintar’ (akademisi, lulusan universitas) dan ‘kaum bodoh’ (para pekerja yang tak punya gelar sarjana).
Bagi Sandel, di tengah gegap gempita merayakan egalitarianisme, kebebasan dan kesuksesan individual, masyarakat kita yang semakin ‘liberal’ justru memproduksi ketimpangan dan krisis harga diri bagi mereka yang tak memiliki berbagai gelar akademis yang membanggakan. Lugasnya, masyarakat kita—yang doyan mengukur kualitas manusia berdasarkan gelar yang pendek atau berderet-deret—sering “menghargai atau memuliakan kaum ‘the smart’ dan serentak menghina kaum ‘the dumb’. Tak heran, jika banyak orang mengejar berbagai gelar akademis, hingga gelarnya berderet-deret, meski tak seimbang dengan bobot intelektual dan keluasan wawasannya.
Sayangnya, politik kita juga turut terjebak dalam kepongahan intelektual ini. Sandel menyebutnya sebagai “politik teknokratis”. Artinya sebuah politik di mana kebijakan publik diambil berdasarkan suara segelintir “fachidiot” tadi. Dalam konteks AS, paradigma pasar/ekonomi dianggap sebagai satu-satunya paradigma paling baik. Suara-suara publik yang lebih luas, apalagi evaluasi etis, kritik dan keluhan-keluhan moral yang dianggap “tidak akademis”, dipandang sebagai debu yang dapat dikebas begitu saja karena tak penting. Akibatnya, diskursus publik kita jadi makin sempit.
Belajar dari “kebencian membara” mereka yang tidak dihargai karena dianggap “bodoh” tadi, diskursus publik harus semakin dibuka. Kebijakan publik tentang suatu masalah publik tak boleh dipecahkan hanya berdasarkan suara-suara segelintir “fachidiot”. Pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat sipil yang lebih luas, apalagi jika kebijakan itu menyangkut hidup dan kebaikan mereka. Fokus pada pendapat segelintir ahli fachidiot, dan abai terhadap suara-suara kritis publik yang lebih luas, adalah sebuah pemicu bagi bangkitnya murka dalam demokrasi.
Leave a Reply