UM 2023: Survey Pasar dan Dialog

Timboel Siregar

Oleh:  Timboel Siregar

Kenaikan Upah Minumum (UM) menjadi agenda konflik tahunan di Indonesia sepanjang masa. Penetapan UM pasti disertai aksi penolakan dari Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh (SB) atau pun asosiasi Pengusaha (Apindo).

Bila SP SB yang menolak maka aksi demo digelar dan berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bila Apindo menolak biasanya juga ke PTUN dan melakukan “pembangkangan” dengan tidak mau mematuhi keputusan kenaikan UM tersebut. Walaupun ada pidana bagi pengusaha yang tidak menjalankan UM namun dengan lemahnya kinerja pengawas ketenagakerjaan yang sudah menjadi rahasia umum, biasanya pengusaha berani melanggar ketentuan UM tersebut.

Saat ini pun, proses penentuan UM 2023 akan berpotensi menjadi konflik. Pemerintah cq. Kemnaker sudah menyatakan akan menggunakan rumus kenaikan UM di Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021 yang kanaikannya akan berkisar 1 sampai 2 persen. Tentunya Apindo akan mendukung pernyataan Kemnaker ini. Sepertinya ruang dialog sudah ditutup kemnaker, walaupun dalam pemberitaan media Bu Menaker masih menunggu hasil dialog di Dewan Pengupahan.

Kegiatan kemarin yang dilakukan Kemnaker cq. Direktorat Pengupahan pun tetap masih berfokus pada penggunaan Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021 tanpa memberikan suatu peluang penetapan UM 2023 dengan mekanisme dialog yang berkualitas.

Acara kemarin terkesan menjadi legitimasi Kemnaker untuk mengatakan ke public bahwa Kemnaker telah melakukan dialog dengan SP/SB sehingga soal penetapan UM 2023 sudah dipahami oleh SP/SB.

Namun faktanya kalangan SP SB menolak penggunaan Pasal 26 ayat 3,4 dan 5 tersebut, dengan mengusulkan kenaikan 13 persen. Alasan SP SB adalah agar daya beli buruh tidak tergerus inflasi.

Inflasi di September 2022 yang mencapai 5.95 persen (year on year) tentunya sudah menggerus kenaikan UM 2022 yang rata-rata naik sekitar 1.09 persen. Daya beli akan lebih tergerus karena kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu, yang akan juga berdampak ke tahun 2023. Apalagi saat ini Pemerintah sudah merilis potensi krisis di 2023 akibat ketidakpastian kondisi geopolitik dunia. Tentunya potensi krisis tersebut juga akan menghatam dunia usaha.

Dengan kondisi di atas, saya mengusulkan agar Kemnaker dan Apindo tidak memaksakan penggunaan Pasal 26 ayat 3,4 dan 5 PP No.36 tahun 2021 tentang Pengupahan, namun mengajak dialog kalangan SP SB secara berkualitas yang dilakukan secara dua arah. Namanya juga dialog bukan monolog, jadi harus berlangsung dua arah. Dialog yang dibangun harus mencari alternatif metode perhitungan kenaikan UM 2023. Dengan dialog tersebut diharapkan juga SP SB membuka ruang negosiasi, dengan tidak memaksakan kenaikan 13 persen.

Saya usul agar Kemnaker, Apindo serta SP SB bersepakat melakukan survey 64 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di pasar yang memang riil dikonsumsi oleh pekerja/buruh. Dengan menghitung inflasi yang terjadi pada pengeluaran pekerja/buruh maka kenaikan UM 2023 akan mampu mendukung daya beli pekerja/buruh, yang di 2022 ini sudah tergerus inflasi.

Dengan kondisi inflasi bahan makanan, yang menurut BPS, sudah mencapai 9,02 persen, demikian juga BPS menyatakan inflasi September 2022 terjadi karena adanya kenaikan harga yang dikontribusi sebagian besar dari indeks kelompok pengeluaran yang memang masuk dalam 64 item KHL tersebut, seperti kelompok transportasi sebesar 8,88 persen, kenaikan UM 2023 sebesar 8-10 persen bisa menjadi kesepaktan ketiga pelaku hubungan industrial.

Hasil survey didialogkan dan disepakati, yang nilainya akan diadopsi Gubernur untuk ditetapkan di bulan November 2022 ini. Dengan hasil survey yang didialogkan tersebut kenaikan UM 2023 akan lebih obyektif hasilnya. Dan hasil tersebut diharapkan akan meniadakan perselisihan yang tiap tahun kerap terjadi. [Penulis Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia].

 

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*