JAKARTA, SP – Setara Institute mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM juga Komisi III DPR untuk membuka draft RKUHP versi terbaru kepada publik guna memberikan ruang deliberatif kepada masyarakat untuk mewujudkan prinsip meaningful participation.
Selain itu, Setara Institute menentang keras dan menolak terhadap pasal-pasal RKHUP yang diskriminatif dan menjadi instrumen pelembagaan pelanggaran hak konstitusional warga negara.
Demikian disampaikan Sayyidatul Insiyah, Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, kepada persnya, Kamis (23/6/2022).
Ia mengatakan, selanjutnya Setara Instutute mendorong DPR bersama Pemerintah untuk kembali mematuhi amanah putusan MK dengan cara membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah dalam substansi RKUHP. “Kami juga mendesak DPR bersama Pemerintah untuk meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal dalam RKUHP yang berdampak pada kriminalisasi warga negara,” kata dia.
Sebagaimana diberitakan, pemerintah bersama DPR kembali merencanakan untuk segera melakukan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), bahkan DPR telah menjadwalkan pengesahannya pada bulan Juli, yaitu pada akhir Masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022.
Atas hal tersebut, Setara Institute menyatakan beberapa hal sebagai berikut, pertama, Setara Institute menyayangkan ketiadaan iktikad pemerintah untuk membuka draft terbaru RKUHP kepada publik. Pembahasan RKUHP ini telah digulirkan sejak puluhan tahun silam, dan terus menjadi bola panas yang mendapat atensi masyarakat setiap kali muncul wacana pengesahan.
Sayangnya, draft RKUHP versi terbaru pun masih belum bisa diakses khalayak. Lagi-lagi, pembentuk undang-undang abai akan “meaningful participation” yang seharusnya diimplementasikan dalam setiap proses legislasi. Bagaimana masyarakat bisa didengarkan haknya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan diberi penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained) jika draft RKUHP sebagai bahan untuk proses deliberatif saja tidak diberikan.
Kurangnya ruang deliberatif dalam proses legislasi selama inilah yang menjadi musabab banyaknya penolakan atas berbagai undang-undang, karena proses legislasi yang tidak partisipatif sangat berpotensi mengarah pada produk legislasi yang jauh dari harapan masyarakat. Dalam tiga tahun terakhir, disrupsi legislasi telah diperagakan secara nyata oleh pemerintah dan DPR.
Kedua, Setara Institute mengingatkan kepada Pemerintah dan DPR untuk membuka kembali dua Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu (1) Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang telah menganulir pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden yang sebelumnya terdapat di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP; dan (2) Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007 yang menegaskan bahwa pasal penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP telah bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Oleh karena itu, penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah yang diejawantahkan kembali dalam RKUHP merupakan sebuah bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK, yang berarti pula pembangkangan terhadap konstitusi.
Terlebih, norma tersebut sangat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan. Delik penghinaan tidak boleh digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah maupun pejabat-pejabat pemerintah.
Beberapa kasus kriminalisasi para aktivis HAM akibat kritikannya terhadap beberapa pejabat negara yang terjadi belakangan ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pencantuman norma pasal penghinaan.
Bukan tidak mungkin, rumusan pasal penghinaan khususnya terhadap pemerintah dalam RKUHP akan semakin menjadi alat pemberangusan freedom of expression masyarakat yang mengarah pada shrinking civic space atau pengkerdilan ruang-ruang sipil sekaligus menjadi penanda regresi demokrasi.
Ketiga, Setara Institute menyayangkan masih adanya pasal soal kohabitasi dalam RKUHP. SETARA mengamini kohabitasi adalah perbuatan amoral, namun tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium (upaya terakhir) dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi. Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu.
Keempat, Setara Institute menyesalkan masih diadopsinya pidana mati dalam substansi RKUHP. Sekalipun pidana mati sebagai ultimum remidium, namun penerapan hukuman mati adalah sebuah paradoks terhadap upaya pemenuhan hak hidup (right to life) yang menurut konstitusi merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Terlebih, berdasarkan catatan Amnesty International, tren global pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 142 negara sedang mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hanya 52 negara termasuk Indonesia yang masih konsisten dengan penerapan hukuman mati. Alih-alih menghapus, pemerintah justru menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draft RKUHP.
Kelima, Setara Institute menyayangkan adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama. Pasal 302 ayat (1) telah menunjukkan progresivitas paradigma pembentuk undang-undang yang menitikberatkan pada pidana hasutan dan pidana kebencian berdasarkan sentimen keagamaan dan kepercayaan.
Namun, dalam ayat (2) pada Pasal yang sama, pemerintah masih mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama ini justru menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi.
Pasal penodaan agama dalam UU PNPS 1/1965 maupun KUHP seringkali digunakan untuk menghukum interpretasi seseorang yang berbeda dari keyakinan keagamaan mayoritas. Yang seharusnya diatasi oleh pemerintah adalah ekspresi kebencian berdasar sentimen keagamaan/kepercayaan sebagaimana dalam Pasal 302 ayat (1) RKUHP, bukan kelembagaan agama yang selama ini menjadi alasan dominan di balik pasal penodaan agama. [EH]
Leave a Reply