Sarat Pelanggaran HAM, Penanganan Polusi Udara Jakarta Urgen Dilakukan

Ilustrasi polusi udara Jakarta.

JAKARTA, SP – Daerah Khusus Istimewa (DKI) Jakarta kembali menempatkan diri sebagai kota dengan tingkat polusi udara paling parah di Dunia, Senin, 20 Juni 2022. Kondisi ini memicu berbagai dampak buruk bagi masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, terutama kesehatan.

Tidak adanya tindakan serius dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi atas persoalan menahun, bahkan terkesan defensif terhadap kritikan dan putusan hukum yang mengikat menunjukkan lemahnya komitmen pemenuhan (fulfil) HAM, terkhusus hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana amanat Pasal 28 H (1) UUD 1945, Pasal 9 (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .

Atas hal ini, SETARA Institute dan Sustainable and Inclusive Governance Initiative (SIGI) menyampaikan beberapa poin penting urgensitas pembenahan dari sisi regulasi dan komitmen kebijakan yang perlu di penuhi.

Pertama, menurut penelitian buruknya kualitas udara di Jakarta di pengaruhi oleh dua faktor utama, yakni pembangkit listrik dan transportasi. Perda Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran udara dan Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Kualitas Udara, yang sejatinya sudah menyasar dua faktor ini ternyata belum memberikan dampak signifikan, bahkan setelah hampir lebih dari satu dekade dan tiga tahun terakhir disahkan.

Kedua, aspek hukum dan regulasi baik dalam konteks Perda maupun Instruksi Gubernur, tidak dibarengi dengan implementasi, pengawasan dan evaluasi yang menyeluruh. Pemerintah Daerah tidak proaktif melakukan pengawasan dan monitoring dalam penindakan tegas dan pencabutan izin terhadap perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan nilai maksimum baku mutu emisi.

Baru-baru ini, pencabutan izin lingkungan PT. Karya Citra Nusantara (KCN) di tengah sorotan terhadap kualitas udara Jakarta, jika tidak ingin disebut sebagai glorifikasi dan  momentum belaka, Pemda DKI mesti meneruskan langkah audit lingkungan sebagai kebijakan inheren dan menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan yang berpotensi melanggar izin lingkungan akibat dari emisi yang dihasilkan.

Ketiga, langkah setengah hati pemerintah juga termanifestasi dari lemahnya komitmen yang sekaligus menunjukkan sikap denial terhadap regulasi, dengan keengganan Pemerintah Pusat dalam memenuhi putusan PN Jakarta Pusat pada tanggal 16 September 2021 yang diajukan Gerakan Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibu Kota).

Alih-alih memenuhi putusan hakim yang memutuskan pemerintah (tergugat) telah melawan hukum, pemerintah justru mengajukan banding. Meskipun, pemerintah DKI Jakarta tidak mengikuti langkah demikian. Hal ini menunjukkan sinergitas pemerintah pusat dan daerah masih belum dalam tune yang sama dalam melihat pembenahan secara komperehensif persoalan kualitas udara di Jakarta.

Apalagi, dalam konteks regulasi nasional, Perpres No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang menyasar penurunan emisi karbon secara nasional, masih belum menemukan formulasi tepat implementasi kebijakan di lapangan.

Berdasarkan temuan Walhi tahun 2019, setidaknya ada 10 PLTU, serta berbagai aktivitas industri di daerah penyangga yang turut menyumbang buruknya kualitas udara di Jakarta, maka sudah sepatutnya pembenahan bisa dimulai dari titik ini.

Keempat, Setara Institute memandang bahwa dua aspek utama yang memicu polusi udara sarat kaitannya dengan operasionalisasi bisnis oleh PLTU dan transportasi. Paradigma bisnis yang ramah HAM (responsible business), harus bergerak dengan menempatkan manusia dan keberlanjutan lingkungan sebagai inti dari tindakan mereka.

Fenomena polusi udara DKI Jakarta yang begitu kasat matanya, dapat menjadi momentum pengarusutamaan regulasi tentang uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan (Human Right and Environmental Due Diligence). Sejalan dengan perubahan persepsi pemerintah dalam memandang low political issue, layaknya masalah perubahan iklim dan polusi udara, diletakkan setara dengan prioritas pemerintah dalam penanggulangan banjir, kemacetan, ataupun penataan wilayah kota. [EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*