Ketika Agama Menjadi Berhala Politik

Peter Lewuk, cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT

FILSUF Muslim Ibn Rusyd (1226-1198) mengatakan: “Membisniskan agama adalah bisnis yang bisa sukses di masyarakat yang didominasi kebodohan. Bila Anda ingin menguasai orang bodoh, maka hendaknya Anda membungkus segala kejahatan dengan bungkus agama.” Ada dua hal yang terkandung dalam pernyataan sang filsuf Muslim tersebut. Pertama adakah kritik terhadap agama, terutama para elite agama. Kedua adalah kiritik terhadap para elite politik dan kekuasaan. Dua hal ini saling berkaitan.

Sebagaimana diketahui, Indonesia dikenal sebagai negara yang selalu membanggakan diri sebagai “negara paling beragama” dengan “Islam sebagai agama mayoritas terbesar” dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Kemudian ditambah lagi dengan agama-agama minoritas seperti: Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, Kongfucu, aliran kepercayaan, dan agama-agama suku.

Perihal istilah “mayoritas-minoritas”, ada pihak yang tidak setuju dengan penyebutan itu, karena terkesan bernuansa diskriminatif. Tapi faktanya memang ada mayoritas dan minoritas, sehingga tidak perlu disangkal. Dalam konteks pergaulan internasional-global, saya biasa menyebut klaim Islam sebagai agama mayoritas terbesar itu dengan istilah “diplomasi anak kalimat”.
Bila tidak bijak dan cerdas membanggakan diri dan mempromosikan diri, maka bisa menjadi “bumerang”.

Sebaliknya mereka yang minoritas biasanya “tahu diri”, sehingga lebih banyak bersikap “berbenah diri”. Dan, sebagai hasil dari “tahu diri” serta “benah diri” itu, maka orang Katolik, misalnya, mempunyai prinsip sebagai berikut: “Biar minoritas dalam kuantitas, asalkan mayoritas dalam kualitas” sambil menjadi “seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia”. Dan, sejarah Indonesia telah membuktikan prinsip katolik tersebut. Mereka yang minoritas biasanya diam, bekerja tanpa pamer, tanpa hiruk-pikuk, tanpa gembar-gembor, tanpa mobilsasi massa sambil mengibarkan atribut-atribut, dan tanpa klaim. Yang penting bagi kaum minoritas adalah menghasilkan buah berlimpah dan bekualitas serta bermanfaat bagi kemanusiaan.

Berhala Agama

Bila kita menggunakan kaca mata kritik filosofis Ibn Rusyd untuk melihat dan membaca fenomena agama di Indonesia, maka yang kita temukan adalah terjadinya “krisis kehidupan beragama”. Tampaknya agama lebih penting dan utama daripada Tuhan dan wahyu ilahi-Nya. Praktik beragama secara formal-institusional-ritualistik dan “pamer kesalehan” supaya dilihat orang, lebih utama daripada substansi. Meski lantang terdengar klaim “membela Tuhan dan Agama-Nya”, namun sadar atau tidak sadar, pembelaan tersebut merupakan penghinaan luar biasa terhadap Tuhan, seakan-akan Tuhan itu lemah dan tidak berdaya, sehingga harus dibela oleh manusia.

Lebih konyol lagi, dalam klaim membela “Tuhan dan agama-Nya” itu, terkandung pengertian bahwa Tuhan beragama, Tuhan menganut agama tertentu. Ini konyol karena Tuhan tidak bisa dikatakan beragama. Sebaliknya yang dikatakan beragama hanyalah manusia, sehingga agama saya definisikan sebagai “pelembagaan wahyu ilahi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia dan diterima dalam bentuk jawaban iman kepada Tuhan”. Wahyu dan iman itu kemudian dikodifikasi dan dikanonisasi dalam kitab suci, dinyatakan dan ditetapkan dalam dogma, doktin, serta ritus-ritus untuk dihayati dan diamalkan.

Dengan demikian, maka klaim bahwa “Tuhan beragama” atau “Tuhan dan Agama-Nya”, sadar atau tidak sadar, adalah suatu reduksi teologis, manakala Tuhan diturunkan dari “langit” dan menjadi sama dengan agama, sehingga terciptalah agama buatan tangan manusia yang disebut “berhala”, yang bisa dimanipulasi oleh manusia demi kepentingan-kepentingan yang diinginkannya. Wibawa dan kemuliaan serta kedaulatan Tuhan dihinakan oleh manausia yang memperalat Tuhan demi kepentingan manusia. Hal tersebut tentu saja sangat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran pesan-pesan ilahi yang diwahyukan Tuhan, yang diimani, dipelihara, dihayati, serta diamalkan dalam setiap lembaga-lembaga agama, misalnya, agama-agama Abrahamik atau agama samawi yaitu: Yahudi, Kristen, dan Islam.

Jadi, menurut saya, yang dibela itu bukan Tuhan an sich atau Tuhan itu sendiri, melainkan “berhala agama” yaitu “tuhan” (tanda petik huruf kecil) atau ilah-ilah hasil reduksi teologis oleh manusia penganut agama. Nah, cilaka tiga belas yang terjadi adalah pemujaan dan pembelaan secara irasional dan membabi buta terhadap “berhala agama” itu, kemudian menghasilkan apa yang saya sebut “teologi amarah, teologi kebencian, teologi teror, dan teologi takfiri atau pengkafiran”. Konyolnya adalah semua jenis teologi itu merupakan hasil dari tafsir subjektif-nirotoritatif dengan mencatut ayat-ayat Kitab Suci milik orang Yahudi, Kristen, dan Islam.

Teologi amarah serta teologi kebencian dan seterusnya itu termanifestasi dalam dua bentuk. Pertama dalam bentuk konflik diskursif-argumentatif sebagaimana dapat disaksikan lewat kanal-kanal yutube milik orang-orang yang mengklaim diri sebagai teolog, debater, dan apologet, baik yang Muslim maupun yang Kristen di ruang-ruang virtual. Kedua adalah konflik fisik berupa bom bunuh diri untuk menghabiskan orang-orang kafir atau membakar rumah-rumah ibadah.

Bisnis Politik Laris

Kembali lagi ke kritik Ibn Rusyd, kemudian dikontekskan dengan amanat konstitusi yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan terbentuknya negara Indonesia merdeka, antara lain, untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Merujuk sang filsuf Muslim itu, “membisniskan agama akan laris manis dalam masyarakat yang didominasi kebodohan”. Mungkin istilah kebodohan terlalu kasar dan menyinggung perasaan, sehingga saya perhalus saja dengan istilah “minim literasi” keagamaan, yaitu menyangkut pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat sehari-hari.

Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, rupanya tujuan “mencerdaskan kehidupan bangsa” belum tercapai secara ideal. Ironisnya lagi, banyak elite agama di Indonesia mengalami “masalah dengan dirinya sendiri” menyangkut kecerdasan beragama yang dikaitkan dengan “Empat Konsensus Nasional Indonesia”: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ada elite agama yang dirinya masih bermasalah dengan konsensus kebangsaan Indonesia itu. Nah, dari elite agama yang masih bermasalah seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan terciptanya suatu masyarakat dan umat yang memiliki literasi keagamaan yang baik dan benar sebagai buah dari pengajaran elite agama semacam itu?

Minimnya literasi keagamaan pada masyarakat dan umat inilah yang bakal menjadi objek manipulasi empuk oleh para politikus oportunis, terutama misalnya, dalam rangka menghadapi kontestasi pemilihan umum. Maka, pernyataan filsuf Ibn Rusyd, lagi-lagi, kembali menjadi aktual dan relevan bagi para politikus oportunis dan partai politiknya yang berambisi meraih kemenangan dan kekuasaan melaui pemilu: “Jika Anda ingin menguasai orang bodoh maka bungkuslah kejahatan dengan bungkus agama”.

Dengan kata lain, politisasi indentias agama adalah bisnis politik pemilu yang paling laris dalam masyarakat yang minim literasi keagamaan. “Bungkusan agama” dan “politik ayat-mayat” (istilah yang sekarang menjadi populer), berpautan dengan Pilkada DKI Jakarta 2017, adalah contoh terburuk, yang masih segar dalam ingatan kolektif masyarakat Jakarta, bahkan seluruh Indonesia yang kala itu menyaksikan melalui media massa dan media sosial. Ternyata bisnis politisasi identitas agama itu laris manis, sehingga mendatangkan kemenangan bagi pihak pengusung politik identitas primordialistik.

Belajar dari pengalaman buruk itu, kita berharap agar politisasi identitas agama tidak terulang kembali dalam skala nasional pada pemilu 2024. Apalagi lewat media massa dan media sosial, para analis politik dan intelijen mengingatkan agar waspada. Karena tahun 2024 merupakan peringatan satu abad runtuhnya Kekhalifahan Turki Usmaniah, yang digulingkan oleh Mustafa Kemal Ataturk pada 3 Maret 1924, kemudian Kemal Ataturk menjadikan Turki negara sekuler.

Peribahasa Prancis mengatakan: l’histoire se repete, artinya sejarah senantiasa berulang. Oleh karena itu, meskipun sistem kekuasaan kekhalifahan dan penguasanya telah diruntuhkan, itu tidak lantas berarti sistem ideologi agama, dalam hal ini khilafah, pun ikut runtuh dan mati, karena memang ide atau ideologi tidak dapat mati atau dimatikan. Bahkan sejarah kemudian membuktikan bahwa ideologi khilafah telah menjadi gerakan pankhilafahisme atau ideologi transnasional. Di Suriah dan Irak, misalnya, pada 1999, Abu Bakr Al-Baghdadi mencoba mendirikan kembali negara berideologi khilafah yang disebut Islamic State of Iraq and Sham atau ISIS, meskipun kemudian berantakan.

Di Indonesia, ideologi khilafah ingin terus dihidupkan oleh entitas-entitas seperti, misalnya, NII (Negara Islam Indonesia) JI (Jemaah Islamyah), HTI (Hizbut Tahir Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), dan Khilafatul Muslimin. Padahal Indonesia telah memiliki Empat Konsensus Nasional: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang sudah final dan sangat ideal untuk nation-state (negara-bangsa) dan masyarakat yang sangat pluralistik seperti Indonesia.

Penting dicatat bahwa entitas-entitas pendukung ideologi khilafah dan sistem pemerintahan kekhilafahan memiliki potensi suara yang besar, yang bisa mempertebal kantong perolehan suara pada pemilu 2024. Bila ada parpol atau koalisi parpol dan Capres/Cawapres-nya yang merangkul mereka, kemudian menang dalam pemilu 2024, maka ingat pepatah no free lunch in politics alias tidak ada makan siang gratis dalam politik. Sebagai entitas pendukung dan pemilik saham suara dalam proses pemenangan sang presiden dan koalisi partai politiknya, maka para pengusung dan pengasong ideolgi khilafah itu tentu akan menuntut pembagian dividen politik.

Hal semacam itu akan merepotkan Indonesia. Mereka akan tetap merecoki pemerintah dan masyarakat karena merasa memiliki saham politik memenangkan presiden dalam kontestasi pemilu. Selain itu dengan dalih sebagai warga negara Indonesia, mereka dijamin oleh konstitusi, sehingga memiliki hak dan (kewajiban?) yang sama dalam berdemokrasi, berorganisasi, dan mengeluarkan pendapat. Organisasi mereka sudah dilarang pun mereka masih bermetamorfosa dan unjuk gigi serta mengibarkan bendera mereka atas nama Tauhid, apa jadinya kalau mereka berhasil menanamkan saham politiknya dalam kontestasi pemilu, kemudian capres/cawapres yang mereka dukung itu menang? Ini masalah sekaligus tantangan bagi kaum “nasionalis-religius-Pancasilais yang seratus persen Indonesia”, pada pemilu 2024 dan seterusnya. [Peter Lewuk, cendekiawan Tana Ai, Flores, NTT]

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*