Para Guru Indonesia Nilai RUU Sisdiknas Lemah Formal dan Substansi

Ilustrasi proses belajar mengajar saat pandemi.

JAKARTA, SP – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tengah dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), bahkan target Kemdikbudristek masuk Prolegnas (program legislasi nasional) prioritas pada Mei 2022.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai organisasi guru tingkat nasional, menilai RUU Sisdiknas ini sangat lemah dari aspek formal prosedural dan aspek isi atau materi.

Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, Minggu (13/3/2022), mengatakan, secara prosedural pembahasan melalui uji publiknya tidak dialogis, tidak partisipatif, dan minus transparansi.

Menurut Iman, kebijakan pendidikan harusnya melingkupi semua yang berkepentingan dalam proses itu. Pendidikan menjadi “sesuatu yang dipertaruhkan” oleh banyak pihak, bukan hanya pemerintah saja. Pada masa Orde Baru, pendidikan telah terhempas dari masyarakat dan menjadi milik penguasa. Masyarakat menerima apa saja yang direkayasa pemerintah melalui birokrasi pendidikan.

Di masa demokrasi kini, kata dia, sikap masyarakat yang pasif dan kekuasaan pemerintah yang absolut terhadap pendidikan harus dihilangkan (HAR Tilaar, 2002).

Organisasi guru, dosen, LPTK adalah diantara stakeholder terpenting yang harus terlibat intensif dalam kebijakan pendidikan. Produk UU Sisdiknas yang baik dan bermutu, hendaknya dibangun atas dialog dengan semua stakeholder pendidikan secara partisipatif, jujur, dan terbuka.

Sedangkan dalam aspek isi atau materi, kata Iman, setelah mempelajarinya P2G memberikan 10 kritik awal yang konstruktif untuk perbaikan kualitas pendidikan ke depan.

Pertama, P2G menilai banyak pasal yang tertukar antara konsep “hak warga negara” dengan “kewajiban negara”. Misal Pasal 12, ada ketentuan “masyarakat wajib” memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentu termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya. Padahal seharusnya masyarakat “berhak.” Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab terkhusus dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.

Menurut Iman, lebih menyedihkan, pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada ‘pembiayaan dasar’ saja, itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu (Pasal 80 ayat 1-3).

“Pasal ini jelas sekali membuka ruang diskriminasi pendidikan, padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif (Pasal 5). Tampak antara pasal bersifat kontradiktif,” ungkapnya.

Kedua, soal Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dasar argumentasi perubahan 8 SNP (berlaku sampai sekarang) menjadi 3 SNP perlu dipertanyakan. Landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas sangat lemah karena cuma merujuk satu riset sangat terbatas oleh satu lembaga saja, penelitian terbatas di 3 daerah: kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen (halaman 160-163). Padahal Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh.

“Kajian Nasmik RUU Sisdiknas tidak merepresentasikan ragam konteks geografis dan demografis Indonesia, terkesan Jawa-Sumatera sentris, tidak relevan dan kontekstual, tentu tak layak dijadikan sumber referensi. Nasmik yang miskin literatur dan referensi tak patut dijadikan dasar,” tutur alumni pelatihan guru di Seoul ini.

Ketiga, P2G ingin uraian Nasmik RUU Sisdiknas sebagai landasan akademis dibuat lebih ilmiah, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misal mengenai penjelasan tentang “kurikulum”, dalam Nasmik hanya menguraikan Kurikulum 2013.

Tidak satupun ditemukan uraian mengenai Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Merdeka, padahal kurikulum tersebut sudah diimplementasikan sekarang, bahkan target Kemdikbudristek memberlakukannya di setiap sekolah secara nasional pada 2024.

Jadi naskah akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas dan isi RUU Sisdiknas tidak berkorelasi dengan perubahan kurikulum, ini cukup membingungkan.

Kemudian istilah “kerangka kurikulum” yang dikutip berasal dari paper panelis di Afrika tahun 2007. Jelas tidak kontekstual dan ketinggalan zaman.

“Selain itu P2G tetap berharap agar mata pelajaran Sejarah masuk dalam ‘muatan wajib’ dan ‘mata pelajaran wajib’ dalam struktur kurikulum nasional, artinya Pasal 93 mesti direvisi. Masa Bahasa Asing masuk muatan wajib, pelajaran Sejarah tidak, hanya dijadikan pelajaran pilihan, ini kan aneh?”, cetus Iman yang mengajar Sejarah.

Keempat, yang cukup mengganjal dalam Pasal 105, ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa. Mengapa ada evaluasi siswa oleh Lembaga Mandiri? Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru (sekolah) dan Kemdikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN) dulu yang merugikan siswa termasuk guru.

“P2G khawatir evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut (Pasal 105 ayat 3-4). Pasal tersebut akan melahirkan bisnis pendidikan yang difasilitasi negara, bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi praktik kolusi antara lembaga swasta dengan pemerintah, jelas sangat memilukan,” cetus Agus Setiawan, Kepala Bidang Kajian Kebijakan P2G.

Dia melanjutkan, praktik bisnis pendidikan model begini merusak ekosistem sekolah karena menciptakan persaingan bisnis di luar konteks pembelajaran. Bukannya memperbaiki kualitas asesmen dalam kelas, Kemdikbudristek malah mengundang pihak luar untuk mengintervensi hasil belajar.

Hasilnya, para siswa akan terbebani banyak format ujian sebagaimana pada masa UN, bedanya ini dikerjakan oleh pihak swasta.

Bagi P2G justru sesungguhnya yang penting itu evaluasi sistem atau program oleh Lembaga Mandiri eksternal terhadap Kemdikbudristek. Seperti Evaluasi Program Sekolah Penggerak, Evaluasi Program Guru Penggerak, dan Evaluasi Kurikulum Merdeka, dan kebijakan pendidikan lain.

“Jangan logikanya dibolak-balik. Siswa dievaluasi lembaga mandiri eskternal, sedangkan Kemdikbudristek tidak, ini kan menggelikan,” tegasnya.

Kelima, Agus mengutarakan, P2G meminta RUU Sisdiknas menambahkan Bab dan Pasal khusus membahas Disain Pendidikan di Masa Katastrofe (catastrophe). Belajar dari pengalaman pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun berlangung, kita harus mampu menyiapkan dunia pendidikan tetap resilience dalam segala kondisi kedaruratan bahkan bencana besar.

Jangan seperti sekarang di masa bencana, kebijakan pendidikan termasuk persekolahan yang dilakukan Kemdikbduristek lebih terasa tambal sulam, tanpa arah, pendekatan parsial, tidak sistemik dan fundamental. Akibat dari kondisi pembelajaran di masa pandemi ini melahirkan “learning loss” yang faktanya diakui Kemdikbudristek sendiri. Makanya diperlukan landasan selevel UU sebagai pedoman penanggulangannya.

Keenam, RUU Sisdiknas akan melahirkan “Kastanisasi Sekolah”. RUU ini, memperkenalkan entitas baru dalam persekolahan (Pasal 18 dan 21) bernama “Persekolahan Mandiri”.

Pengelolaan antara “Persekolahan” (umum/biasa) dengan “Persekolahan Mandiri” berbeda. Tujuan Persekolahan Mandiri untuk menghasilkan inovasi penyelenggaraan persekolahan dalam rangka mengembangkan kompetensi dan karakter Pelajar (Pasal 21 ayat 1).

Bahkan dalam menghasilkan inovasi, Persekolahan Mandiri menetapkan standar input dan standar proses masing-masing sesuai dengan konteks dan kebutuhan pembelajarannya (Pasal 21 ayat 2). Artinya akan ada sekolah yang diperlakukan istimewa oleh Pemerintah, dengan membuka ruang inovasi apalagi dengan standar input berbeda.

Diperkuat dalam Nasmik, sekolah jenis ini diperbolehkan mengembangakn kurikulum mandiri. Artinya sekolah tersebut memiliki keistimewaan mengembangkan standar sendiri yang berbeda dari sekolah umum biasa. Ini persis sama dengan model Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang pernah dibuat pemerintah dan kenyataannya sangat diskriminatif.

Padahal kebijakan Kemdikbudristek mengenai “Zonasi dalam PPDB siswa” sejak 2017 justru dalam rangka menghapus kastanisasi dan favoritisme sekolah di tengah masyarakat. Keberadaan Persekolahan Mandiri sangat bertolakbelakang dengan semangat keadilan dalam pendidikan.

Keberadaan sekolah yang diperlakukan khusus menjadi kasta tertinggi, dengan segala previledge-nya jauh-jauh hari sudah dibatalkan MK seperti kasus RSBI. Artinya berdasar Keputusan MK tersebut, keberadaan sekolah semacam ini bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.

Oleh sebab itu keberadaan jalur Persekolahan Mandiri dalam RUU Sisdiknas akan menciptakan kasta-kasta antarsekolah. Bayangkan, jika persekolahan mandiri diterapkan dalam sekolah negeri. Hal ini akan menciptakan kesenjangan baru dan menghidupkan kembali pelabelan (labelling) sekolah ‘elit’, ‘favorit’ dan ‘unggul’.

Menurut P2G, bahkan label Persekolahan Mandiri akan membuat mahalnya biaya pendidikan. Dengan alasan mandiri, otonomi, dan keistimewaan pengelolaan sekolah, tentu kebutuhannya pun bisa berbeda dari sekolah umum, otomatis pembiayaan sekolah akan meningkat, di sinilah muncul pungutan pendidikan berbiaya mahal kepada orang tua siswa. Jalur Persekolahan Mandiri dalam RUU Sisdiknas akan persis seperti RSBI.

“Kami khawatir kebijakan pendidikan Mas Nadiem Makarim melalui RUU Sisdiknas ini akan memuluskan kembali lahirnya kastanisasi pendidikan, reinkarnasi RSBI dengan wajah baru. Alih-alih berpihak pada anak, yang timbul justru praktik buruk yang memperlebar gap anak-anak keluarga kaya dan miskin,” ujar Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

P2G menentang praktik kastanisasi pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan. Sebab bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif.

Ketujuh, hilangnya Kualifikasi Akademik Guru. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal D4 atau S1.

Namun dalam RUU Sisdiknas, kualifikasi tersebut tidak ada atau dihapus. Artinya, bagaimana kita bisa menjamin kualitas guru dan meningkatkannya jika mereka secara akademik tidak berkualifikasi ?

Kualifikasi akademik sangat penting dalam sebuah profesi apalagi menyangkut pendidikan sebagai hak dasar anak. Untuk menjadi profesi dokter minimal S-1 Sarjana Kedokteran, menjadi profesi Advokat minimal S-1 Sarjana Hukum, begitu pula profesi lain. Ditambah kemudian pendidikan profesi.

Jika RUU Sisdiknas ini disahkan maka profesi guru tampak subordinatif dari profesi lain, guru semakin inferior. Nadiem Makarim akan dicatat sejarah sebagai menteri yang tidak menjaga dan memuliakan martabat guru secara akademis.

“P2G curiga, hilangnya pasal syarat kualifikasi akademik guru sebenarnya sudah dirancang demi membuka jalan praktik bisnis pelatihan guru oleh swasta, yang nanti akan menjadi lembaga pencetak calon guru. Siapa pun cukup bermodalkan semangat dan niat mengajar, lalu ikut pelatihan mengajar berbayar dari lembaga swasta, bisa menjadi guru. Terang sekali kebijakan ini dibuat untuk meligitimasi kepentingan bisnis pendidikan korporasi tertentu, yang mulai bermunculan akhir-akhir ini,” ujar alumni UI ini.

Kedelapan, P2G tetap mendorong RUU Sisdiknas mengatur upah minimum guru seperti halnya manajemen upah buruh melalui skema UMP/UMK. Selama ini kesejahteraan guru hanya janji belaka saat kampanye. Janji Nadiem Makarim angkat satu juta guru honorer terbukti gagal total. Sebab rekrutmen guru PPPK hanya berhasil mencakup 293 ribu, tak sampai 30%. Artinya peluang para guru mengajar dengan upah sangat tidak layak akan terus ada, akibat ketidakmampuan Pemerintah dan Pemda memenuhi kebutuhan guru secara nasional.

Satriwan menambahkan, RUU Sisdiknas harusnya memuat regulasi guru secara prinsipil, komprehensif, dan sistematis yang secara teknis diatur melalui aturan turunannya. Bagi P2G bicara regulasi guru minimal mencakup 9 aspek utama: Pola seleksi calon guru (LPTK); pendidikan profesi guru; pola rekrutmen; perlindungan; kompetensi; kesejahteraan; tata kelola pembinaan dan pengembangan jenjang karir; perlindungan; dan distribusi.

Kesembilan, soal Karir Guru. Pasal 124 hanya satu kalimat membahas jenjang karir guru, yaitu “guru bisa jadi pemimpin dalam lembaga pendidikan”. Praktik ketidakjelasan dan ketidakadilan dalam pengelolaan jenjang karir guru terjadi hingga kini.

Contoh, guru swasta yang sudah lama menjadi pegawai tetap yayasan, lalu pindah kerja ke sekolah lain. Dapat dipastikan jenjang karirnya dimulai dari nol lagi, menjadi guru baru lagi. Pengalaman dan capaian di sekolah terdahulu tidak akan mempengaruhi statusnya di sekolah baru. Jadi para guru swasta tidak memiliki karir yang melekat dalam dirinya. Sehingga para guru yang potensial dan berprestasi tidak memiliki motivasi berkarir lebih tinggi. Berbeda dengan pengelolaan jenjang karir dosen yang relatif jelas, pasti, dan berjenjang.

Lalu dalam rekrutmen guru PPPK, banyak yang dari segi keilmuan dan pengalaman cukup panjang sebagai guru honorer atau swasta. Tapi saat ikut seleksi PPPK, jenjang karirnya sama mulai dari nol lagi. Nah ini kan bukti tidak adanya pengelolaan jenjang karir yang jelas, demikian terjadi karena tidak diatur dalam UU maupun regulasi di bawahnya selama ini.

Persoalan karir guru juga menjadi masalah serius khususnya bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum, dan guru mata pelajaran umum pada Madrasah di bawah Kementerian Agama. Kedudukan mereka terpecah antara dua kementerian yaitu Kemdikbudristek dan Kemenag. Sehingga guru PAI ini selalu terhambat dalam meningkatkan jenjang karir. Pembinaan karir, urusan administrasi, pembinaan kompetensi, sampai pada skema rekrutmen guru PAI jalur PPPK harus dipingpong diantara dua kementerian tadi, pengelolaan yang tidak efektif dan merugikan guru. Sialnya RUU Sisdiknas tidak mengaturnya secara tegas.

“Jadi P2G menilai RUU Sisdiknas ini belum berpihak kepada guru sepenuhnya, bahkan berpotensi merugikan dan merendahkan martabat profesi guru”, pungkas Satriwan.

Kesepuluh, Kemudian Agus menganalisis, RUU Sisdiknas hanya didisain untuk mengakomodir dan melegitimasi program kerja Kemdikbudristek era Nadiem Makarim belaka. Contoh, istilah Profil Pelajar Pancasila (PPP) sebenarnya hanya program kerja temporer yang dimuat dalam dokumen Renstra Kemdikbudristek Tahun 2020-2024. Melalui Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemdikbudristek 2020-2024, PPP menjadi program kerja Nadiem.

Anehnya PPP masuk dalam RUU Sisdiknas bahkan berkedudukan sangat tinggi yaitu menjadi “fungsi pendidikan nasional”. Pendeknya pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi Pelajar agar menjadi warga negara sesuai dengan 6 dimensi PPP.

Padahal PPP masih mengandung persoalan secara filosofis, akademis, sosiologis, historis, dan pedagogis. Bagaimana bisa kualifikasi karakter pelajar Pancasila itu dikonstruksi menjadi 6 dimensi? Sedangkan Pancasila saja terkandung 5 nilai sila.

Bahkan pengembangan nilai karakter Pancasila bagi siswa sudah dimuat dalam Perpres Nomot 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang memuat 18 nilai karakter berdasarkan Pancasila yang kemudian dikristalisasi menjadi 5 karakter utama.

Lantas mengapa terkesan Kemdikbudristek memaksakan profil pelajar Pancsila itu menjadi 6 dimensi dan memasukkan ke UU? Padahal Perpres sudah mengaturnya eksplisit menjadi 18 nilai, lalu diperas menjadi 5 nilai yang masih berlaku hingga sekarang.

“P2G menilai cara-cara semacam ini berpotensi menjadikan UU Sisdiknas lemah, tidak futuristik, jangka pendek, sangat parsial, tidak menyentuh persoalan mendasar, dan lebih kental politisnya ketimbang pendidikannya,” pungkas Agus yang merupakan alumni magister UIN Jakarta.

Oleh karena itu P2G masih berharap Kemdikbudristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua stakeholder pendidikan. Jangan terburu-buru mengesahkannya menjadi UU.

Seperti nasihat orang tua di Jawa dulu: “Ojo kesusu, ojo grusa grusu, mengko mundhak kleru”. Jangan sampai Kemdikbudristek dan DPR berlindung di balik alasan pandemi, secepat kilat sehingga proses pembahasan RUU ini bernasib seperti RUU Cipta Kerja atau UU IKN. [EH]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*