Menuju Riset Berbasis Pancasila

Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila.

Oleh: Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila

Pasal 5 huruf a UU No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan berdasarkan Pancasila. Penegasan ini juga dinyatakan dalam pasal 4 huruf a Peraturan Presiden No. 78/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam Perpres BRIN tersebut, dinyatakan bahwa fungsi BRIN dalam mengembangkan riset dan inovasi didasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Penegasan ini menyiratkan komitmen negara dan Pemerintahan Joko Widodo untuk menjadikan Pancasila sebagai, bukan hanya dasar negara secara umum, melainkan basis pelaksanaan riset dan inovasi nasional. Sebagai kebijakan, hal ini merupakan terobosan. Namun apakah terobosan itu bisa terwujud? Inilah yang menjadi tantangan. Persoalannya, untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar bagi riset nasional, kita membutuhkan, tidak hanya payung hukum, tetapi terlebih kerja-kerja riset itu sendiri.

Definisi Positif

Menjawab pertanyaan di atas, penulis akan mengajukan jawaban yang bersifat pesimis. Mengapa? Karena pesimisme justru merupakan pemantik bagi pertanyaan-pertanyaan kritis yang menjadi bahan utama bagi riset itu sendiri.

Mengapa pesimis? Setidaknya terdapat beberapa alasan mendasar. Pertama, Pancasila telah lama tidak didekati sebagai subjek riset dan dibangun sebagai ilmu pengetahuan. Hal ini yang membuat kita hingga saat ini belum memiliki prinsip-prinsip teoretik Pancasila yang baku secara ilmiah. Padahal untuk menempatkan Pancasila sebagai basis (paradigmatik) bagi riset, dibutuhkan prinsip-prinsip teoretik tersebut.

Dulu kita memiliki Notonagoro yang mengawali perumusan pengetahuan Pancasila “secara ilmiah dan populer”. Namun kerja Notonagoro belum tuntas, dikarenakan keterbatasan bidang studi. Bagaimanapun Notonagoro adalah Guru Besar dalam ilmu hukum. Sedangkan untuk membangun bangunan pengetahuan, dibutuhkan ahli di bidang filsafat ilmu. Ketika seorang filsuf seperti Nicolaus Driyarkara banyak menulis Pancasila pun, kajiannya bukan tentang “filsafat ilmu Pancasila”, melainkan tentang filsafat manusia Pancasila.

Kedua, andaipun telah dikaji secara ilmiah, kajian tersebut bersifat a-historis. Artinya, tercerabut dari pemikiran penggali dan perumus Pancasila. Ketercerabutan ini masalah besar dalam ilmu pengetahuan, sebab ilmu selalu bersifat genealogis. Misalnya, ketika ingin meneliti teori idea, tentu harus berangkat dari pencetus ide itu, yakni Plato. Menulis idea tanpa berangkat dari Plato pasti anakronistis, sebab tidak sesuai dengan maksud ide itu sendiri. Demikian pula jika ingin meneliti konsep Bhinneka Tunggal Ika, maka harus berangkat dari pencetusnya, yakni Mpu Tantular.

Hal sama terjadi pada Pancasila. Sayangnya, sebagian besar kajian Pancasila tidak berangkat dari Soekarno sebagai penggali Pancasila, dan para pendiri bangsa perumus dasar negara ini. Posisi para perumus Pancasila hanya dibatasi pada peran sejarahnya sebagai perumus. Padahal dalam perumusan tersebut, terdapat ide-ide dasar tentang Pancasila.

Ketiga, ketercerabutan ini berangkat dari persoalan yang lebih akut dalam diskursus Pancasila. Yakni ketiadaan definisi ilmiah tentang Pancasila, baik yang disepakati oleh komunitas ilmiah, maupun segenap elemen bangsa. Hal ini terjadi dalam kecamuk “jenis” Pancasila; apakah 1 Juni, 22 Juni atau 18 Agustus 1945? Padahal sebagaimana premis pengetahuan yang disusun dalam Konsideran Menimbang huruf E Keputusan Presiden No. 24/2016, ketiga fase 1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus merupakan kesatuan proses kelahiran, perumusan dan pengesahan Pancasila.

Dengan demikian kita tetap bisa memiliki definisi positif tentang Pancasila. Yakni, bahwa Pancasila itu adalah dasar negara yang disahkan pada 18 Agustus 1945, yang sumber gagasannya berasal dari pidato Bung Karno pada 1 Juni, dan dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Pada 1 Juni, Pancasila merupakan filsafat dasar negara. Pada 18 Agustus, Pancasila terformalkan menjadi norma dasar negara. Apakah dalam definisi itu hanya ada pemikiran Bung Karno? Tentu tidak. Bung Karno sebagai “Plato” ide Pancasila, dikuatkan dan disempurnakan oleh pemikiran para pendiri bangsa lain, baik yang menjadi anggota BPUPKI secara umum, maupun Panitia Sembilan secara khusus.

Oleh karenanya, definisi Pancasila bisa dibangun berdasarkan ide awal Pancasila oleh Bung Karno, dikuatkan dengan ide perumus Pancasila yang lain, seperti Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, termasuk Muhammad Yamin yang pada tahun 1958 berpidato tentang Sistema-Filsafah Pantjasila. Apa inti definisi itu? Yakni Pancasila merupakan filsafat, norma dasar dan ideologi negara yang bersifat religius, yang merupakan ideologi kebangsaan demokratik dan mencita-citakan keadilan sosial sebagai upaya pemuliaan martabat kemanusiaan.

Sayangnya, sebagaimana disadari oleh Eka Darmaputera dalam Pancasila, Identitas dan Modernitas (1997), selama ini kita tidak mampu merumuskan “definisi positif” (ortodoksi) tentang Pancasila. Yang kita sematkan pada Pancasila hanyalah “definisi negatif” (ortopraksi) dengan menentukan, “Apa yang tidak Pancasila?” Misalnya, untuk menentukan “Apa itu ekonomi Pancasila?”, kita hanya membedakan dengan ekonomi non-Pancasila seperti kapitalisme dan etatisme-komunis. Padahal, “Apa itu Pancasila?” bisa dibangun berdasarkan akar ide penggali dan perumus Pancasila, atau berdasarkan koherensi logis dari hubungan sila-sila.

Sistem Ilmiah

Dengan demikian, untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar riset nasional, maka pendekatan riset terhadap Pancasila harus dilakukan terlebih dahulu. Sebab Pancasila justru menjadi bidang studi yang belum disentuh melalui pendekatan ilmiah. Padahal anjuran tersebut telah ditegaskan di sepanjang masa republik ini.

Dalam rapat dengan Dewan Pertimbangan Agung pada 28 Januari 1961 misalnya, Presiden Soekarno meminta dibangunnya sistem ilmiah Pancasila. Sebab sebagai falsafah negara, Pancasila sangat memadai untuk dikembangkan menjadi sistem ilmu pengetahuan. Hal ini juga dinyatakan oleh TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, bahwa pembangunan mental harus didasarkan pada Pancasila yang menghendaki pola pikir abstrak dan ilmiah.

Bahkan Presiden Soeharto dalam peringatan ulang tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada pada 19 Desember 1974 juga bernada sama. Ia menyatakan, “Penelitian ilmiah akan memungkinkan penyusunan Pancasila menjadi sistem filsafat, sekaligus ilmu induk bagi pengembangan ilmu-ilmu lain.” (Hardono Hadi, 1994: 32)

Oleh karena itu, terpulang kepada kita, negara dan pemerintah untuk serius dalam membangun sistem ilmiah Pancasila sebagai prasyarat utama menjadikan dasar negara sebagai basis bagi riset dan inovasi nasional. Jika tidak, maka keputusan hukum hanya terhenti di kertas, tak berbunyi di kenyataan hidup. [Tulisan ini diambil dari akun FB Syaiful Arif, dan sudah ditayang di Sindo, 3 Februari 2022]

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*